Febra
Hati serasa
teriris-iris oleh pisau yang tajam. Cakar binatang buas yang ganas menyerang.
Tidak sampai pula menangis. Cukup banyak dosa yang tertanam di hati. Meskipun
begitu ia masih mampu beristighfar. Nomor buruannya sudah ia genggam. Beberapa
kali sudah ia coba mengirim pesan singkat. Jurus andalannya menjadi seseorang secret
admirer mulai dikerahkan.
“ra,maafin aku ya”
Indah sekali nama itu. Sehingga tergetar hati saat mendengar
atau mengucap namanya. Febra . Subhanallah. Namanya secantik
parasnya.
“Ni,siapa ya?”
Terbayang kecantikan
dan keluguannya yang hingga sekarang tak jua menerima siapapun di hatinya.
Sekali lagi Subhanallah. Bahkan seorang seperti aku yang bandelpun
tergila-gila padanya.
Jauh sekali
berbeda dengan gadis-gadis lain yang begitu mudahnya hinggap di pundakku.
Kadang pikirku, bodoh sekali mereka yang tak merasa terancam dengan pribadiku
yang urakan seperti ini. Tak sedikit mereka yang kebablasan menjadi penggila reggae ataupun mengidamkan punkjalanan
gara-gara ajakanku.
Tak sedikit dari mereka yang juga semakin akrab dengan dunia malam yang kelam
padahal tanggung jawab di pundaknya teramat besar sebagai anak seorang pembantu
rumah tangga tanpa sosok seorang ayah disisinya. Astaghfirullahal’azhim.
Agak lama aku berpikir, akhirnya aku teruskan jurusku.
“Aku,salah seorang
fans beratmu, tapi aku malu sebutkan nama. Aku akan sangat malu jika
teman-teman tahu aku sms denganmu”
Dengan menyebut malu, bisa jadi kesan yang timbul adalah
pribadi yang baik di benak seseorang.
“Siapa sih?”
Terus mengejarku dengan pertanyaan menandakan ia waspada.
Akupun semakin suka menggodanya.
“Aku yang temani kamu
di rumah hantu”
Baru saja tadi
pagi aku temani dia memasuki wahana rumah hantu. Ia tampak sangat ketakutan dan
manja dengan orang yang cukup dipercaya.
Ya, itulah aku. Orang terpercaya yang mengancam banyak hati perempuan di
dekatnya. Banyak orang yang tak tahu pergaulanku yang bebas dan mengerikan. Dengan menjadi pendiam,
pemalu dan santun bisa jadi mereka akan salah menilaimu. Pagi itu tak cukup
kuat imanku menahan hasrat berada di sampingnya.
Manja yang terlanjur kuartikan
suka membuatku berani melakukan sesuatu
yang kurang pantas. Abis cantik banget sih. Salah sendiri kenapa cantik.
Makanya sekarang aku minta maaf padanya untuk memastikan iapun suka padaku.
Kutunggu jawabannya . Keesokan harinya barulah ia menjawab.
“Oh,kak Dayat,kirain
siapa”
Jawabannya masih saja membuatku penasaran.
“maafin aku ya!”
Pintaku lagi. Menegaskan bahwa aku adalah orang yang bertanggungjawab.
Agak lama ia menjawab. Akhirnya.
“iya, aku maafin”
Singkat sekali. Kirain dia akan bilang gak apa-apa. Kalo gak
apa-apa kan jelas suka tandanya. Terus kukejar dengan pertanyaan.
“Kalo boleh tahu,
cewek secantik kamu pasti dah punya cowok kan?”
Mulai
ngegombal. Dan inilah kali terakhir ia
menjawab sms dariku. Entah apa yang membuatku begitu penasaran padanya. Di hari
Sabtu yang sepi setelah PM, aku mengendap-endap masuk ruang Tata Usaha guna
melihat biodata lengkapnya di buku induk.
Febra, lahir di Jakarta, 14 Februari 1999. Anak tunggal. Ayah seorang
pedagang makanan anak-anak di depan
rumahnya. Tak miliki kendaraan. Cukup jauh ia tinggal dari sekolah. Ibunya
telah meninggal dunia saat ia berumur 5tahun. Astaghfirullahal ‘azhiim.
Terakhir aku
dengar ia menjadi korban penodongan. HP ratusan ribu rupiah hasil jerih payah
ayah kesayangannya lepas dari tangan. Hatiku serasa teriris-iris oleh pisau
yang tajam. Cakar binatang buas yang ganas menyerang.
Serasa tersengat
listrik ratusan volt menghanguskan ego laki-laki yang ingin tundukkan banyak
wanita cantik. Nyaris pula aku menangis.
Langsung saja teringat ibu yang sekarang masih sehat wal’afiyat dan
masih sangat menyayangiku. Terbayang, bagaimana perasaan seorang anak tunggal
yang hidup serba terbatas jika disakiti hatinya. Bagaimana perasaan seorang
ayah jika tahu anaknya dipermainkan dan disesatkan menjadi anak durhaka.
Astaghfirullahal’azhiim.
Sulit sekali aku menangis karena cukup banyak dosa yang tertanam di hati. Ini adalah
ketersiksaan yang sangat. Indahnya jika aku mampu menangisi rencana jahatku
kembali menyesatkan anak lugu nan cantik yang menjadi tumpuan keluarga. Astaghfirullahal’azhim,
betapa jahatnya aku.
“Febra demi cintaku, aku
hapus nomormu sehingga tak terbuka lagi kesempatan kau mengenalku. Tapi sebelum
aku benar-benar melupakanmu, izinkan aku terakhir kali meminta maaf padamu”
Bisikku dalam hati.
“Febra,maafkan aku”
Bismillahirrahmanirrahim. Dengan kesadaran penuh aku
hapus nomor ini, tanda sayangku padamu.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Kemenanganku melawan ego
laki- laki. (pancoran,15Februari2014)