“Ana
Zendi”
Sebuah cerpen
Meski telah meminta maaf
padaku, tak mudah melupakan peristiwa itu. Terlanjur kuceritakan pada
teman-teman. Merekapun turut membenci dan mengutuknya. Tak pantas seorang
pendidik melakukan hal memalukan yang sering sekali ia ingatkan terlebih pada
peserta didiknya.
Teman2 memaksaku untuk
mengadukan hal ini ke kepala sekolah. Sampai akhirnya ia pun di panggil untuk
mempertanggungjwabkan perbuatannya.
Air mata ini terus
mengalir membasahi pipi. Ada kebenaran yang harus kusampaikan, Tapi aku belum
berani mengatakannya. Orang tua dan teman-teman bingung dengan keadaanku.
Semakin terlihat memikul beban yang sangat berat di pundak. Kejujuran yang
harus kusampaikan.
“kenapa
sih na, kok lo nangis terus?, semua kan bak-baik aja kok. Sebentar lagi dia akan dikeluarkan sebagai hukumannya. Kita gak
akan liat dia lagi di sini. Gak akan ada lagi yang tiap hari ceramahin kita kaya dirinya bener aja”
Aku terus menangis. Belum mampu bibir dan lidah ini berucap yang
sebenarnya
“gue
salah fit. Gue salah. Gue ngaduin ini semua bukan atas kemauan gue sendiri”
“lah
terus kenapa kalo emang kita yang dorong lo tuk jujur agar tidak jatuh korban
yang lainnya. Udah lah na, kita terus dukung lo kok.
“bukan itu fit,lo dan teman-teman mungkin gak kan ngerti yang
sebenarnya”
“trus
apa yang sebenarnya na?, kita kan coba ngertiin lo kok. Dari kelas 1 SD kita
selalu sama-sama. Masa sih kita gak bisa ngertiin lo?”
Masih menangis sesegukan. Mengusap air matanya. Mengambil nafas
panjang seperti bersiap ingin mengatakan sesuatu yang berat sekali diucapkan.
“yang sebenarnya terjadi adalah bukan pelecehan fit. Yang
sebenarnya terjadi gue nyaman ada di sampingnya. Yang sebenarnya gue rasain bukan pelecehan. Kalo dilecehkan
pasti gue dah menghindar jauh-jauh darinya. gue suka dia fit”
“apa?, lo gila na?, lo sadar gak sih lo ngomong apa?”
“gue
sadar fit, gue emang suka sama dia. Dia adalah sosok imam yang selama ini gue cari”
“Astaghfirullahal’azhiim, gila lo na”
“dia
jujur suka sama gue, gue yang jahat bilang dia melecehkan gue. Padahal setelah
itu ia sadar dengan kesalahannya dan langsung minta maaf ke gue. Harusnya gue
jaga rahasianya, karena rahasianya rahasia gue juga. Sedikit bgt guru yang bisa
melawan gengsinya mengakui kesalahan dan meminta maaf pada muridnya”
Ana kembali melanjutkan.
“gak
adil bgt kalo kita adukan dia karena benci, sementara yang jelas-jelas juga pernah
lecehin gue gak kita laporin. Suatu perbuatan dianggap melecehkan karena salah
satu pihak tidak menerima dengan perlakuan pihak yg lain. Gue harus jujur,
perbuatannya memang salah tapi bukan pelecehan, karena gue pun suka sama dia”
“trus, lo mau ngapain sekarang?”
“gue
mau menghadap kepala sekolah bahwa aduan gue tentang dia salah adanya”
“lo gak malu?”
“malu
gak malu, sudah terlalu jauh kita terlibat. Kita masih harus mencari keputusan
terbaik buat semua. Gak gampang mencari pekerjaan sekarang ini. Ini bukan sekedar
masalah suka gak suka, terhadap seseorang, Ini tentang pengabdian 10tahun seorang
guru yang telah banyak memberi kontribusi buat sekolah ini. ”
“hadeeeeeeeeeeeeeeeh, pusing gue na”
“Ya, udeh, sekarang temenin gue yuk menghadap kepala sekolah”
“gue malu na”
“udahlah,
kita harus pikirin masadepan seorang yang telah ikhlas mengabdi cukup lama di
sini. Sistem yang buruk telah membuat koruptor-koruptor dunia pendidikan yang
jauh lebih jahat dan berdampak sangat parah betah tinggal di sini. Jangan kita perburuk
keadaan dengan membuang sdm-sdm
berkualitas hanya karena 1 kesalahan”
Merekapun memberanikan diri menghadap kepala sekolah, menjelaskan semua yang
sebenarnya terjadi. Alhamdulillah kepala sekolah memutuskan sang guru tetap dipertahankan di sekolah.
“na, gue bangga punya teman yang bijak kayak lo”
“sama-sama
fit, gue juga bangga punya temen yang bisa ngertiin gue, dan bantu sampai
masalah ini selesai, tks ya. Love u”
Tujuh
tahun berlalu sejak kelulusan mereka dari sekolah menengah pertama. Hingga suatu
hari terpampang sebuah janur kuning sangat indah bertuliskan :
“Ana
Zendi”
Alhamdulillah,
pak Zendi membuktikan cinta sejatinya pada Ana.