‘Iffah
Bukan hal yang tabu bagiku berbicara
tentang cinta. Aku seorang alumnus dari sebuah pesantren yang bisa dibilang cukup ketat
dengan banyak peraturan, walaupun demikian aku tidak tabu untuk
membicarakannya..Ya apalagi kalau bukan hubungan antara santri putra dan santri
putri. Bayangkan saja, jika seorang santri putra ketahuan mempunyai relasi
dengan santri putri maka keduanya akan dijemur dihadapan ratusan santri
lainnya. siapa sih yang tidak akan malu?.
Berbeda sekali dengan pesantrenku kini yang bisa dibilang tidak ketat.. Sempat
canggung aku untuk beradaptasi dengan kondisi seperti ini. Tapi lama
kelamaan akupun semakin menikmatinya. Bahkan suatu ketika aku sempat
mengungkapkan perasaanku kepada seseorang santriwati mojang priayangan. Gembira
hatiku walaupun baru setahap kulewati, dengan pengakuan bahwa aku suka padanya.
“Bagaimana jawabannya Rin?”. Aku
Tanya beberapa kali kepada Rini. Ia hanya berdiam diri sambil menundukkan
kepalanya, tidak menatapku. Ia memang anak perempuan yang iffah. Jarang sekali
ia terlihat bercakap-cakap dengan kaum adam. Itulah sebabnya aku tertarik
kepadanya. Selain cantik dan pintar ia pun tidak sembrono seperti anak-anak
perempuan seumurnya yang umumnya centil demi mendapatkan perhatian dari kaumku.
“Maaf, Sep, alangkah baiknya jika kita berteman saja”. Itulah
jawabannya. Cukup singkat dan sangat membuatku penasaran.
Suatu malam dalam lamunanku,
teringat kembali aku sewaktu Tsanawiyah dulu. Betapa sulitnmya jika ingin
bertemu seorang santriwati, lebih-lebih santriwati yang aku sukai. Selagi
disini kenapa tidak, manusiawi kan?,
masa seumurku memang masa yang butuh
perhatian dari kaum hawa. Sisi lain hatiku mengatakan “ingat Ta’lim
Al-Muta’allim yang telah engkau pelajari, jauhi maksiat, tidak barokah ilmumu”
“Betul kata
Ta’lim Al-Muta’allim tapi cinta adalah masalah hati Sep!”. Entah suara dari
mana lagi yang tidak kalah kuatnya
mencoba mempengaruhi hati dan pikiranku. Memang benar sih, kata bang Iwan Fals
Sang Maestro Indonesia
dalam lagunya “Buku Ini Aku Pinjam” , bahwa walau usia kita muda tetapi cinta
soal hati. Hafal sekali lagu itu aku nyanyikan. Tidak heran kemudian lagu itu
cukup mempengaruhi pikiranku. Ampun, pusing aku harus bersikap seperti apa.
Perdebatan ini sering sekali terjadi di dalam hati dan pikiranku tanpa ada yang
menengahinya.
Enam bulan telah berlalu. Sekarang
aku duduk di kelas II Aliyah. Aku masih menyimpan rasa cinta itu kepada Rini.
Aku coba kembali menyuratinya. Kata
teman-temanku seorang perempuan akan luluh hatinya jika terus menerus diperhatikan. Aku optimis kali ini gayung pasti
bersambut. Apalagi modalku selain optimis dan pantang menyerah seperti yang
teman-temanku katakan. Kali ini engkau akan menjadi milikku Rin.
Seminggu sudah sejak aku luncurkan surat kesekian kalinya
memastikan bahwa aku masih menyimpan rasa cinta itu padanya. Dalam surat itu aku katakan,
sampai kapanpun aku akan menunggunya. Entah apa yang kurang lengkap dari
suratku. Sedemikian indah kuukir kata-kata untuknya setelah melalui konsultasi teman-teman
pujanggaku yang telah berpengalaman menakhlukkan hati banyak perempuan.Tetap
saja jawabannya adalah penolakan untukku. “Sep, Rini telah berjanji tidak akan
punya pacar di sekolah ini titik!”
Bagaikan tersetrum listrik ratusan
watt badanku terasa sangat lemas dibuatnya. Aku malu sekali kepada
teman-temanku yang telah mengetahui rencanaku dari a sampai z. Mereka yang
telah tahu betapa aku telah berusaha cukup keras untuk mendapatkan hati Rini mojang
priangan Ciamis. Untung aku tidak menuruti saran teman-temanku yang percaya
kepada dukun. Menurut mereka,jika cinta ditolak maka dukun harus bertindak.
“Sorry friends, kalo urusannya sampe
harus ke dukun, gue nggak mau deh, musyrik dan nggak fair.Gue masih bisa lewat
cara yang lain”
“Ya udeh, kita nggak punya cara lain
lagi Sep, itu saran terakhir dari kita. Lo mau apa nggak nih ?”
Lagian cewek aneh kaya gitu lo
deketin Sep, kan
masih banyak cewek cantik lain yang lebih gampang lo dapetin?.
“Eh, lo kalo belum tahu dia nggak
usah komentar deh, dia tuh beda banget dibanding cewek-cewek lain yang
gampang dideketin dan dimanfaatin sama
banyak cowok”, dengan nada emosi akhirnya kutinggalkan teman-temanku. Kalau
saja aku menuruti emosiku, pasti aku dan beberapa temanku sudah terlibat
perkelahian. Alhamdulillah hal itu tidak terjadi.
Nyanyian katak iringi aku menuju
musholla tepi sawah untuk melaksanakan salat Ashar. Biasanya di musholla kecil
ini tidak banyak yang salat karena jaraknya yang jauh dari asrama santri. Aku
memilih salat disini karena ingin menikmati kesunyian sore yang indah dan
nyanyian katak yang tak pernah letih walau hujan tidak kunjung turun bulan ini.
Paling hanya beberapa mahasiswa yang menyempatkan salat di musholla ini karena
asrama mereka yang dekat dari sini.
Sore ini nyanyian katak dan tarian capung sawah tidak seindah biasanya. Padahal
di sisi barat sana
berdiri tegak Gunung Syawwal seakan memberi contoh seharusnyalah aku juga
berdiri tegak sepertinya. Aku lanjutkan langkahku menuju pos penjaga palang
pintu kereta api desa Pamalayan. Biasanya kereta-kereta api yang lewat juga
sering menghiburku. Kereta api ekonomi yang berwarna oranye atau kereta Argo
Wilis yang berwarna putih dengan garis biru abu melintang dari kepala hingga
ekornya.
Aku tidak perduli banyak teman-teman yang
mengejekku norak karena sering memperhatikan kereta api yang lewat di hadapanku
dengan seksama. Bagiku, kereta api adalah alat transportasi yang
sangat gagah perkasa. dan memiliki nilai seni yang tinggi. Ketika ia melintas tidak ada apa dan seorang pun
yang dapat menghalanginya. Ketika ia.melintas akan terdengar harmoni
nada yang indah karena gesekan roda bajanya yang berton-ton beratnya dengan
sambungan satu rel dengan rel yang lain. “Tektektektek,dugdugdugdug” setidaknya seperti itulah bunyi yang sering
membuatku terlena karena menikmatinya.
Di
depan pos penjaga palang pintu kereta api ini aku termenung menunggu kereta api
yang lewat. Mudah-mudahan dapat sedikit menghiburku dan mengusir kesedihan yang
terjadi hari ini. Dengan sisa tenaga, aku goreskan kembali pulpenku di
atas kertas ini. Ingin kutumpahkan tinta dan isi hati terakhirku untukmu Rin.
“Assalamu’alaikum. Rin
aku mengerti maksudmu, tetapi bagaimana jika aku terus berkorespondensi
denganmu. Ini permintaanku yang terakhirkalinya, please, please ok!.Tak tahukah
kamu betapa tersiksanya aku karenamu Rin!”
“Jang, Awas Kareta……..!!”. Dung….Bletak….gabrug,
dan semuanyapun menjadi gelap gulita
“Alhamdulillah,aku
masih hidup,dimana aku?”.Belum lagi aku coba untuk luruskan badanku, tanganku
yang membengkak memaksaku untuk berteriak kesakitan karena aku coba untuk menggerakkannya.
Astahfirullahal’azhim, tanganku yang dibalut mitella membengkak dua kali lipat
ukuran aslinya. Aku mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi pada diriku
sebelum aku terbaring tak berdaya di ruangan ini. “MasyaAllah, suratku, dimana
dia?”, kalau saja ada yang menemukannya pasti aku akan malu sekali. Akan
semakin tersebar cerita cintaku yang tak terbalas di antara para santriwati. Ya
Allah, mudah-mudahan surat
itu terlindas kereta hingga hancur lebur atau tercebur di kolam samping rel
kereta. Yang penting jangan sampai ditemukan oleh santriwati.
Toktoktok…..”Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumussalam”
“Gimana kabarnya Sep, sudah lebih
baik belum?” ,
MasyaAllah siapa gerangan yang
mendatangiku. Mimpi apa aku dijenguk oleh tim kesehatan Pesantren yang
cantik-cantik. Siapa lagi kalau bukan
Teh Euis dan bidadariku Rini. Rini memang hanya menemani teh Euis menjenguk dan membawakanku teh manis,
tapi kehadirannya bagaikan hujan di
tengah padang pasir
yang tandus. Masyaallah cantiknya
bidadariku. Rini hanya bisa menunduk sambil sesekali mecuri pandangku.
“Al-Hamdulillah baik teh”, jawabku
agak terlambat dan terbata-bata karena baru melihat bidadariku kembali. Entah
kenapa saat itu seakan rasa sakit tangan dan tubuhku tidak aku rasakan. Seakan
aku siap kembali menulis dan terus menulis puisi untuk bidadariku, padahal
tangan kananku masih bengkak dua kali lipat besarnya dari ukuran aslinya.
“Oh, iya kita nggak lama nih Sep,
kita masih harus memeriksa kamar-kamar santri lainnya yang belum berangkat
mengaji malam ini”. “Nggak apa-apa teh, terimakasih banyak ya!”,
bergegas teh Euis beranjak meninggalkanku disusul Rini dibelakangnya. Sebelum
beranjak pergi menyusul teh Euis, Rini sempat melemparkan secarik surat dan
senyumnya yang manis untukku. MasyaAllah, alangkah indahnya ciptaan-Mu itu
Ya Allah.
Cukup lama aku pandangi pintu
kamar setelah Rini keluar, sambil berharap ia akan kembali lagi karena ada
sesuatu yang ia tinggalkan. Benarkah surat yang ia lemparkan di alamatkan
untukku?, apa isinya ya?, aku pastikan tidak ada santri lain yang masuk kamar
ini, sehingga aku dapat dengan leluasa membuka dan membaca surat yang
dilemparkannya.
Bergegas aku bergerak dan
menahan sakit tanganku karena aku harus sedikit bergerak untuk mengambil surat
itu yang jatuh agak jauh dari tempatku terbaring. Duh, jangan sampai
teman-temanku atau siapapun terlebih dahulu masuk sebelum aku mendapatkan surat
yang mendarat di pojok kamar di sebelah kananku.
Alhamdulillah, akhirnya
kudapatkan juga kau. Aku cium berkali-kali surat itu sambil berharap isinya
adalah kabar bahagia untukku dan untuk
bidadariku. Pikirku, biarlah tidak mengapa jika Rini harus menerimaku karena
iba melihatku terbaring disini.Yang penting pada akhirnya ia akan menjadi
milikku. Bismillah aku buka suratnya.
“Assalamu’alaikum.
Terima kasih atas perhatiannya Sep, untuk kemudian menjadi sahabat
korespondensi dan bertukar pikiran akupun tidak bisa, aku takut menyakitimu,
baiknya itupun dari kaummu, karena yang lebih tahu tentang dirimu pastilah
kaummu”. Rupanya Rinilah yang menemukan suratku setelah aku pingsan karena
diserempet kereta ArgoWilis. Apa lagi
selain surat penolakan. Tapi senyum manisnya masih dapat menemani tidurku malam
ini walaupun aku ditolak untuk kesekian kali.
Tektektektek, Dugdugdugdug…….!
Melodi itu membangunkan aku. Ruang
kesehatan pesantren memang berada 50 meter dari rel kereta api. Jadi tidak
heran, nyanyian itu terdengar kembali di tengah kesunyian malam. Surat itu masih ada
disampingku. Kubaca kembali surat
itu untuk mencoba mencari alasan lain agar aku dapat menerima keputusan ini.
Kenapa
Rin, kenapa sekejam itu engkau kepadaku?. teman-temanku sudah beberapa kali meeting dengan
kekasih-kekasih mereka. Sedangkan
aku, terus kau beri pernyataan-pernyataan yang sulit untuk dimengerti dan
diterima. Aku ingin sayangmu Rin!.
Teringat kembali aku kepada majalah
Annida yang pernah kubaca dan Ta’lim Al-Muta’allim yang pernah kupelajari.
Kupikir Allah sedang menunjukkan kepadaku suatu yang berharga. Aku sadar aku
diperbudak nafsu. Aku sadar Rinilah yang benar dengan sikapnya yang konsisten
tetap menolakku, konsisten dengan semangat belajarnya. Hasrat sesaat ini tak
lain adalah ajakan setan untuk berbuat lebih dari sewajarnya. Memiliki, merayu,
kemudian mencumbu pada akhirnya. Sekali engkau dapatkan itu, akan sangat sulit
untuk melepaskannya kembali. Hal itu adalah candu bagimu
Seharusnya aku cukup puas dengan senyum manismu ketika menjengukku. Itulah
hakku yang masih dapat dan pantas kuterima. Seharusnya aku sadar bukan
hakku menikmati rayuan, belaian, cumbuan itu.Aku belum berhak untuk semua itu. Jika saja aku telah merasakan semuanya, kenikmatan
apalagi yang akan aku rasakan ketika menikah nanti.
Allahumma Ya Ghoniyyu Ya Hamid, Ya Mubdiu Ya
Mu’id, Ya Rahim Ya Wadud Aghnina bihalalika ’an Haramika Wa bi Tha’atika ’an
Ma’shiyatika Wa bi Fadhlika ’an Man Siwaaka
(Luthfi Mulyadi,
Pancoran, 01 Agustus 2008)
Sinopsis
Asep adalah salah seorang santri baru sebuah pesantren di Ciamis Jawa Barat.
Ia melanjutkan studinya ke Ciamis untuk mencari lebih banyak pengalaman
dibanding yang ia dapat dari pesantrennya waktu Tsanawiyah dulu. Pesantren
waktu ia Tsanawiyah dikenal dengan pesantren yang ketat dengan banyak
peraturan. Berbeda dengan pesantren tempat ia belajar sekarang. Seperti yang
telah ia harapkan, Asep memang mendapatkan berbagai pengalaman yang berbeda,
termasuk pengalaman cintanya dengan seorang gadis cantik mojang priayangan
Ciamis bernama Rini. Pengalaman yang berbeda dengan pengalaman cinta kebanyakan
teman-temannya. Pengalaman yang membuat
ia sadar untuk lebih sabar menunggu saatnya tiba demi mendapatkan keindahan cinta yang
sempurna didunia dan di akhirat . Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar