Aku
aziz
sebuah cerpen
Aku Aziz. Setahun sudah kujalani hubungan dengan kekasihku Ana.
Dalam damai hubungan kami, kejadian itu menimpa. Berita tak sedap tentang salah
seorang guru favoritku.
Seorang guru yang cukup rajin masuk ke kelas, aktif di kegiatan
Pramuka dan olahraga. Guru yang pernah beberapa kali memberi tausiyah dalam beberapa kesempatan dengan cukup baik.
Seorang motivator, yang sering dekat sekali menggali informasi langsung dariku
dan teman-teman.
Seorang yang sangat dekat dengan anak-anak. Seorang yang
menggunakan waktunya cukup efektif dan efisien. Jarang sekali beliau terlihat
ngobrol dan tertawa terbahak-bahak hingga terdengar sampai kelas bersama
teman-teman guru lainnya. Tak heran jika kawan-kawanpun membentuk beberapa geng yang
sering mengganggu proses KBM dengan candaannya belajar dari guru-gurunya.
Malam itu aku, aku tak langsung percaya dengan cerita Ana tentang
Pak Zendi.
“Zis, tadi siang Pak Zendi….”
“Pak Zendi kenapa na?”
Lama sekali Ana menjawabku lewat sms. Aku tidak terlalu memikirkan
kenapa begitu lama ia jawab sms, Alhamdulillah cukup terbiasa aku berpikir
positif. Bisa saja karena pulsanya habis.
“mungkin kamu gak kan percaya ziz”
“percaya apa?, kenapa sih?”
Sekali
lagi aku harus menunggu jawabannya cukup lama.
“pak Zendi pegang tanganku, dan katakan suka padaku”
“Astaghfirullahal’azhim, kamu gak apa-apa kan?, kok bisa”
Darahku mendidih mengetahui hal ini.
Kutukan-kutukan yang terburuk mulai lahir di otak dan siap kulontarkan menjadi
kata-kata. Aku sebagai pacarnya saja belum pernah memegang tangan.
Alhamdulillah, hubungan kami cukup sehat
hingga saat ini. Jarang sekali kami bertemu. Aku menyadari memang belum saatnya
meski teman-teman telah banyak yang
melakukan lebih jauh dari itu.
“trus, kamu bilang apa?”
Kembali kukejar dengan
pertanyaan. Malam itu tidak ada jawaban dari Ana. Entah kenapa. Aku mulai
meragukan perasaan Ana padaku. Tak jarang ia mengajakku bertemu, tapi tidak
kuturuti. Alhamdulillah imanku masih membuatku malu jika bertemu dan diketahui
banyak orang.
Aku ingin menikmati masa remajaku dengan kegiatan yang lebih
produktif dibanding hanya memadu kasih tanpa arah yang jelas. Masih jauh
jalanku untuk itu. Kupastikan akan tersiksa menahan hasrat jika terlalu sering
bertemu.
Aku ingin berenang di lautan ilmu, wawasan yang luas, misteri-misteri
sains yang belum terungkap. Aku ingin bergaul dengan banyak teman-teman dan
saling bercerita tentang pengalaman berorganisasi. Aku masih ingin berbagi trik
bermain games.
Aku masih ingin bersepeda dengan teman-teman ke banyak
tempat-tempat yang indah. Aku masih ingin memuaskan hasratku bermain sepakbola.
Aku masih ingin merasakan sensasi mendapat ikan besar di danau ataupun di laut.
Aku masih ingin mengejar prestasi-prestasi yang menantangku untuk
terus giat berlatih. Aku masih ingin mencapai puncak-puncak gunung nusantara.
Semua itu tidak akan aku dapatkan jika kuhabiskan waktu hanya dengan pacar
menghabiskan uang saling membelikan makanan, kaos, pulsa atau accessoris
lainya.
Aku tak rela uang yang diberikan ayahku harus kubagi lagi dengan
seorang pacar. Akan lebih membanggakan jika memberi pacar dengan uang hasil
keringatku sendiri.
Sampai suatu hari. Berita
itu menyebar dengan cepatnya. Berita
tentang Ana dan Pak Zendi. Jujur
aku tidak terlalu memikirkannya karena pacar bagiku hanya sebatas teman bicara.
Jika harus kupikirkan, pastilah dorongan dari teman-teman yang tidak suka
dengan sosok Pak Zendi sejak lama.
Kupikir kita harus adil, bahwa pak Zendi adalah juga manusia yang
tak luput dari salah dan dosa. Jangan sampai satu kesalahan saja membuat kita
lupa dengan banyak kelebihan dan kebaikan yang telah ia perbuat.
Sesalku, kenapa Ana bicara dengan teman yang tidak terpercaya.
Akibatnya ini memalukan bagi kita semua. Seharusnya ini bisa diselesaikan
secara kekeluargaan. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada cara lain kecuali
menghadapi ocehan teman-teman bahwa Ana akan segera direbut oleh Pak Zendi.
Tak lama sebelum semuanya terlanjur diketahui teman-teman, pak Zendi
menemuiku untuk bicara. Entah darimana ia mendapatkan alamat rumahku, menandakan
keseriusannya dalam menyelesaikan masalah. Walikelasku saja tak pernah
berkunjung ke sini.
Kaget sekali aku sore itu. Kenapa harus pa Zendi menemuiku. Ia
mengajakku ke luar untuk bicara. Ia mengajarkan memilih tempat yang nyaman
untuk bicara menyelesaikan masalah. Jika tidak bijak, bisa saja ia
membicarakannya di depan rumahku.
Ia sangat menghargaiku sebagai seorang laki-laki meski aku masih
anak-anak dengan meminta maaf. Ia mengajarkan aku bagaimana menyelesaikan
masalah sebagai seorang laki-laki. Bisa saja seorang dewasa mengabaikan privasi
anak-anak, tetapi tidak dengan pak Zendi. Sekali lagi ia menghargaiku sebagai
laki-laki dewasa. Ia menceritakan
keseriusan hubungannya dengan Ana.
“baik lah pak, terima kasih atas pelajaran-pelajaran yang bapak
berikan. Jika memang Ana dapat menerima bapak, pastilah saya akan menerimanya
juga bahkan sangat berbahagia".
Sampai akhirnya aku harus mengakui sosoknya lebih pantas bagi Ana
dibanding diriku yang belum bisa mengayomi. Aku harus jujur Pak Zendi jauh lebih
siap membahagiakannya.
Tujuh tahun berlalu. Hari bahagia itupun tiba. Pak Zendi
membuktikan cintanya pada Ana. Janur kuning menegaskan tiada lagi yang dapat
merebut Ana dari pak Zendi, sementara diriku masih sibuk bergelut dengan
buku-buku kuliah.
Doaku padamu berdua. بارك الله لكما وبارك عليكما وجمع بينكما في
خير
Tidak ada komentar:
Posting Komentar