Aku dan Mahameru
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahilladzi Ahyaanaa ba’da Maa Amaatanaa wa Ilaihin Nusyuur.
Subhanallah indahnya pagi ini. Ahad, 17Maret 2013. Aku sedang menikmati liburan
Kuliah PPG PBA insyaallah selama 4minggu ke depan di rumah ibuku di bilangan
Pancoran Jaksel. Semoga liburan ini cukup produktif bagiku. PPG mendorongku
kembali untuk aktif menulis apapun itu
tulisannya. Terlebih tulisan itu adalah tulisan ilmiah yang memiliki referensi
yang jelas. Akan sangat indahnya jika
saja dalam sebulan ini aku dapat menghasilkan satu buah artikel dan kemudian
dimuat di surat kabar. Semoga. Amin.
Pamflet.
Pamflet yang
tertempel di dinding fakultas itupun segera ku ambil. Ada lebih dari tiga
pamflet yang ditempel di fakultasku. Fakultas Ushuluddin tahun 2003-2004. Jadi
kupikir tidak akan masalah jika kuambil. Terlebih panitia kegiatanpun tak tepat
menempelnya. Seharusnya ia ditempel di papan pengumuman. Ini malah di tempel di
dinding. Semakin kuat alasanku untuk mencopotnya. Aku bukan siapa-siapa saat
itu. Bukan aktifis kampus yang tergabung dalam salah satu organisasi. Hanya
pemain Tim inti jurusan Tafsir Hadits
waktu diadakan kompetisi di lapangan kampung utan. Selebihnya waktuku ku dedikasikan
buat TPA Al-Bayyinah dan Remaja RT.007/007. Sepakbola,mangajar dan mengaji di
musholla. Pikirku aku tidak akan kuat dengan lingkungan kampus yang
permisif.Hiiii ngeri…bisa-bisa….hehehe….
“Pendakian
Gunung Semeru 29 Juli – 06Agustus 2004 Mapala Arkadia UIN Jkt”, Subhanallah,
ingin sekali kuikut kegiatan ini. Tapi aku sedang menulis skripsi. Wisuda akan
dilangsungkan bulan September tahun ini. Setelah diskusi panjang lebar dengan
Bapak Ibuku, aku terus membujuk mereka dan berjanji akan menuntaskan skripsiku
dan wisuda pada Maret 2005.
Alhamdulillah mereka mengizinkanku tuk ikut dalam kegiatan ini.
Subhanallah bahagianya aku memiliki orangtua seperti mereka. Buktinya
pencapaianku ke puncak Mahameru menjadi kebahagiaan dan kebanggaanku sendiri
yang tidak dimiliki semua orang. Tak peduli teman-teman yang sedang mengejar
tuk wisuda pada bulan September 2004 tahun ini. Aku akan mendapatkan suatu yang
mungkin tidak akan aku capai jika tidak sekarang. Hidup adalah pilihan. Akupun
memilih kegiatan ini. Dengan biaya cukup murah Rp300.000,- untuk seminggu.
Gerbong Arkadia
biasa teman-teman mahasiswa menyebutnya. Kita berkumpul di sana pukul
Jum’at Juli 2004, pukul 08.00. wib.
Setelah pengarahan dari panitia kitapun berangkat menuju stasiun Senen Jakarta
pusat. 17jam perjalanan Jakarta-malang dengan menumpang kereta api ekonomi Matarmaja.
Ongkos kereta Matarmaja Jakarta-Malang waktu itu Rp.55.000,. Para pendaki,
ibu,bapak, tua, muda, pedagang, semua berkumpul untuk satu tujuan
Semeru,hehehe…. Bukan kale, tujuannya beda-beda lah.
Satu potongan cerita
yang paling aku ingat saat malam hari itu adalah saat kereta berhenti tepat di
pinggir tebing berbatu di pinggir pantai dengan siraman sinar bulan purnama.
“Subhanallah, indahnya”, entah di daerah mana, sepertinya pinggiran Tegal
Jateng atau Semarang.
Kita pun memandangi laut yang terang diguyur sinar bulan. Dalam hati seakan tidak percaya dan bertanya “ngapain Fi?, lo yakin mau sampe puncak Semeru?, emang lo kuat?”. Ya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang muncul beberapa kali saat di perjalanan.
Kita pun memandangi laut yang terang diguyur sinar bulan. Dalam hati seakan tidak percaya dan bertanya “ngapain Fi?, lo yakin mau sampe puncak Semeru?, emang lo kuat?”. Ya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang muncul beberapa kali saat di perjalanan.
Pagi hari
menjelang. Aku masih di kereta. Lewati Madiun, lewati Kediri yang selama ini
hanya ada dipikiranku dengan banyak cerita sejarah di kedua daerah itu. Di
kejauhan tampak gunung Welirang yang seakan berkata “selamat jalan ke puncak
Para Dewa, sampaikan peluk hangatku padanya”, percaya tidak percaya aku sedang
menuju ke sana. Puncak Para Dewa yang disebut-sebut Dewa 19 dalam lagu mereka.
Jam 11.00
sampailah kita di stasiun Malang. Carter angkot menuju ke Pasar Tumpang. Tempat
kita menyambung kembali transportasi kita menuju Ranu Pane, desa terakhir di
kawasan Bromo Tengger menuju gunung Semeru.
Pasar Tumpang
Di sini kita
dapat melengkapi kembali perbekalan yang mungkin belum kita punya. Pasar
tradisional tapi sayangnya sudah berdiri di sana Alfamart sebagai saingannya.
Cukup lama kita menunggu di sana. Sekitar 2jam. Sambil menunggu kesiapan mobil
jeep yang akan antarkan ke Ranu Pane, kitapun berburu makanan tradisional.
Sempat kita makan nasi yang mirip dengan nasi kucing jika kita berkunjung ke
Jogja dan seitarnya. Perutku yang lapar nyaman sekali menerima nasi hangat dengan gorengan tempe
yag dimasak dengan kayu bakar. Jelas aromanya berbeda. Entah nasi apa namanya itu aku lupa. Dari sini sudah
terlihat di kejauhan sana puncak Mahameru yang menghembuskan asap dan pasir di
ketinggian lebih dari 3676mdpl. Subhanallah cantiknya.
Setelah lebih
kurang dua jam menunggu, berangkatlah kita menuju Pos Perizinan Pendakian. Yang
aku ingat ada dua pos yang harus kita jambangi. Yang pertama Pos Taman Nasional
Bromo Tenger Semeru secara umum. Di sana terdapat poster yang menggambarkan
proses terbentuknya Gunung Bromo, Batok dan Semeru. Digambarkan di sana pada
awalnya tiga gunung indah itu merupakan satu kesatuan pegunungan yang utuh.
Subhanallah, bayangkan jika ketinggian
puncak Semeru (Mahameru) sekarang saja sudah mencapai 3676mdpl, dan merupakan
puncak tertinggi di pulau Jawa, maka bisa jadi Mahameru saat itu adalah puncak
tertinggi kedua di Nusantara, mengalahkan Rinjani di Lombok dan Kerinci Seblat
di Sumatera. Sebelum meletus dan pecah menjadi tiga gunung Bromo, Batok dan
Semeru, ketinggian gunung ini mencapai 4000mdpl. Bisa jadi didapati salju di
atasnya seperti Jaya Wijaya di Papua. Subhanallah. Indah dan luar biasanya atap
pulau Jawa.
Jeep yang kita
tumpangi mulai meraung-raung keras. Satu persatu tanjakan ekstrem dilewatinya.
Cukup dagdigdug hatiku khawatir jeep tidak kuat menopang beban lebih dari 5
kwintal. Ya,15 pendaki beserta tas-tas carier kami yang berat-berat. Jalan yang
tidak rata, aspal dan beton yang gompal
disana-sini ditambah track pasir menambah berat lajunya jeep yang kami
tumpangi. Kupikir Jeep mendaki sampai ketinggian lebih dari 700 mdpl. Buktinya
di ketinggian ini kami dapat melihat lautan pasir gunung Bromo di sebelah kiri
dan gagahnya puncak Mahameru gunung Semeru yang terus menghembuskan Wedus
Gembel di sebelah kanan. Subhanallah Rruarr Biasa indahnya. Kalo kurang jelas
silahkan putar kembali film 5cm saat menuju Ranu Pani,hehehe…
Setelah mendaki
cukup tinggi dan menikmati ekstremnya perjalanan Offroad Jeep, kitapun mulai
turun lewati desa-desa menuju Ranu Pani. Ranu Pani adalah desa terakhir sebelum
kita memulai pendakian. Di sana terdapat danau luas yang indah sehingga
disebutlah Ranu Pani. Disini kita kembali meminta izin untuk melakukan
pendakian untuk kedua kalinya. Alhamdulillah kami diperkenankan untuk melakukan
pendakian.Tidak jarang ada pula pendaki yang tidak diizinkan melakukan
pendakian karena status Semeru meningkat.
Setelah
repacking, salat maghrib dan Isya,
menyiapkan air untuk perjalanan, kemudian kami berdoa. Semoga pendakian kami
dari awal hingga akhir berjalanan lancar. Semoga semua peserta pendakian
diberikan kekuatan untuk mencapai puncak Mahameru kesehatan sempurna dan
keselamatan dari marabahaya yang sewaktu-waktu dapat menimpa kami.
Dengan sisa
enegi yang ada, aku langkahkan kaki menuju Ranu Kumbolo bersama peserta
pendakian yang lain. Angin gunung yang sangat dinginpun segera menerpa
wajah-wajah kami.”Brrrrrrrrrrrrr, dinginnya”, ini adalah pendakian keduaku
bersama teman-teman Arkadia UIN Jakarta. Baru aja 1 jam perjalanan, aku sudah
merasa letih dan mengantuk. Harus kuakui bahwa persiapan fisikku tidak
ideal,hehehe. Sambil menahan dingin dan kantuk yang semakin berat menggelayut
di kelopak mata, belasan kali itupun kakiku terantuk batu atau akar yang
melintang di jalur pendakian. “Masyaallah, ngantuknya, enaknya sih kita
istirahat tidur dan menunggu pagi, sehingga energi pulih dan jalur pendakian
jelas terlihat.
Tepat jam 00.00,
sampailah kita di Ranu Kumbolo 2200mdpl. Lokasi yang sangat indah di wilayah
Gunung Semeru. Angin jauh lebih dingin dibanding saat di Ranu Pani segera
menyerang menusuk-nusuk daging dan tulang-tulangku. Gerakan cepat harus diperagakan
oleh kita semua demi menjaga suhu tubuh kami tetap hangat. Hipotermia adalah
penyakit kedinginan mengerikan yang sering dialami para pendaki.”Masyaallah”,
dinginnya seakan menampar-nampar wajahku. Tekanan udara disini begitu tinggi.
Wajahku serasa diselimuti oleh balon tiup kemasan timah tipis yang biasa
dimainkan oleh anak-anak. Cukup lama menunggu teman-teman mendirikan tenda,
akupun segera berlindung di sebuah rumah yang sengaja didirikan sebagai shelter
para pendaki.”Celaka”, di dalamnya telah berdiri dua buah tenda yang tidak
memberikan ruang lagi untuk kita masuk. Alhamdulillah, masih ada celah di pojok
Utara rumah yang muat buat 2orang . Segera aku menyelinap masuk dan berlindung
dari dinginnya angin.”Maafkan aku tidak bisa membantu kalian mendirikan tenda
teman-teman”, dalam hati ku bertanya “ Sebegitu lemahkah fisikku atau memang
angin Ranu Kumbolo yang benar-benar gila dinginnya”,
Pagi itu,
sekitar jam 01.00, aku masih berada di dalam rumah tidak permanen disamping
tenda pendaki lain itu. Masih menahan dinginnya angin dingin Ranu Kumbolo yang
membuat seluruh badanku bergidik. Tanpa tenda tanpa sleepingbag. Cerita
ini adalah contoh yang tidak baik bagi pendaki yang ingin menjajal dinginnya
Ranu Kumbolo Semeru. Terlebih kita berada di bulan Agustus yang dikenal saat
dingin-dinginnya dibanding suhu di bulan lain khususnya di musim hujan. Nekad
adalah istilah yang tepat buatku, pendaki yang belum menyiapkan perlengkapan
pendakian dengan baik. Jika bukan pertolongan dari Allah pastinya aku sudah
mati kedinginan di sini. Tanpa tenda, tanpa sleeping bag.
Jam 02.00, aku
pun dibangunkan oleh salah seorang peserta lainnya dan diminta pindah ke
tendanya. Alhamdulillah masih ada yang memperhatikan keberadaanku di luar sini.
Dengan cukup sulit melangkah akupun pindah masuk tenda. Alhamdulillah, terasa
lebih nyaman di dalam sini. Semakin bertumpuk semakin hangat,hehehe. Kalau di
dalam sini, tanpa sleepingbagpun terasa lebih nyaman, karena suhu tubuh
teman-teman berkumpul dan saling menguatkan.
“Diatas jam 2
suhu disini akan lebih dingin lagi”, seru teman di sampingku,”gila, segini aja
sudah bikin kita kejang-kejang kedinginan”,sambutku,”kita siapkan mental dan
yakini kita bisa melewatinya nanti, kita harus lawan rasa dingin itu, jangan
dirasakan”tambahnya. Dan benar saja setelah jam 2 suhu di sini makin menggila.
Jarang sekali peserta yang dapat tidur nyenyak. Beberapa teman memilih keluar
melawan dinginnya pagi bbuta di Ranu Kumbolo dengan jogging untuk menambah
panas suhu tubuh. Pagi buta itu di hiasi oleh kabut tipis yang hanya menutupi
sebatas dengkul kita. Lagi lagi aku lupa apa nama kabut tersebut.
Subhanallah
indahnya. Pagi itupun kupaksakan keluar bersama teman-teman untuk membuat api
unggun dan berjoging ria melawan suhu ekstrem Ranu Kumbolo. Bintang-bintang
serasa sangat dekat menyapaku, seringkali komet terlihat jelas hilir mudik di
atas sana layaknya Meteor Garden,hehehe. Subhanallah. Pancaran sinar bulan tak
kalah indahnya mengguyur tenda-tenda kami dan Ranu Kumbolo yang semakin cantik
memantulkan cahayanya. Dalam hati berbisik “Where are We?, dimana sesungguhnya
kita?, serasa di dunia lain dan bukan di bumi”, itulah mengapa kegiatan
pendakian gunung sangat digandrungi banyak orang. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan atau merasakan sensasi yang luar biasa yang sangat berbeda dibanding
perjalanan-perjalanan lainnya.
Akhirnya kamipun
menyerah melawan dinginnya Ranu Kumbolo dengan membuat api unggun dan jogging.
Kibarkan bendera putih dan segera kembali ke tenda menunggu matahari
terbit.”Bismikallahumma Ahya Wabismika Amuut”,zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz
“Fi,fi,bangun
fi,salat subuh, jam 6 neh, sunrisenya hampir keluar”,seorang kawan
membangunkanku untuk salat subuh. Berat sekali badan ini untuk bangkit dan
menyentuh air Ranu Kumbolo yang pastinya suangat duingin.”Alhamdulillahilladzi
hyanaa Ba’da Maa Amaatanaa Wailaihinnusyuur”,akupun bangkit dan keluar dari
tenda segera menuju Ranu Kumbolo. “Subhanallah”,sudah cukup terang disini.
Matahari muncul persis di antara dua bukit di arah timur Ranu Kumbolo, persis
lukisan yang sering kita buat saat SD. Sunrise, danau Ranu Kumbolo dengan hamparan
kabut tipis yang datang dan pergi, Subhanallah.
"فبأي
ألاءربكما تكذبان
Selesai salat
kamipun berkeliling menikmati indahnya Ranu Kumbolo. Seluruh area yang tadi
malam tak terlihat sekarang dapat kami lihat dan nikmati dengan
sejelas-jelasnya. Subhanallah indahnya. Pantas saja banyak orang yang senang
berlama-lama di sini tanpa harus mencapai Mahameru. Mungkin ini bagian dari
cobaannya. Jika terlena dengan keindahan Ranu Kumbolo, bisa jadi malaslah kita
pada tujuan utamanya, yaitu silaturrahim ke Mahameru.
Dua hari dua
malam kami habiskan di sini. Panitia benar-benar ingin melepas kangen beratnya
pada danau indah ini. Bisa jadi tujuannya adalah adaptasi dan persiapan energi
yang cukup untuk menghadapi tantangan yang sangat berat menuju Mahameru.
Dan harinya pun
tiba. Setelah packing, foto-foto di Ranu Kumbolo kitapun berdoa.
“Bismillahirramanirrahim, BIssa!”,Tanjakan Cinta adalah nama trek yang membelah
dua bukit menuju Oro-oro ombo. Terlihat
tidak begitu tinggi tapi setelah dijalani ternyata sangat menguras
tenaga. Mitosnya jika berhasil terus melangkah tanpa melihat kebawah jodoh
orang yang menjalaninya akan cepat datang.
Oro-oro Ombho
adalah area tumbuhnya banyak alang-alang setinggi orang dewasa yang sangat
indah pastinya. Banyak yang menyebutnya bukit Teletubies.
Setelah itu kita dihadapkan pada hutan cemara yang mempunyai banyak kesamaan di tiap jalurnya. Tak heran banyak pendaki tersesat di sini, jika tidak salah daerah ini disebut Cemoro Kandang.
Setelah itu kita dihadapkan pada hutan cemara yang mempunyai banyak kesamaan di tiap jalurnya. Tak heran banyak pendaki tersesat di sini, jika tidak salah daerah ini disebut Cemoro Kandang.
Melewati Cemoro
Kandang sampailah kita di suatu tempat terbuka. Di sana kita dapat memandang
langsung kea rah gunung Semeru yang tadinya tertutup oleh bukit-bukit
sekitarnya. Jam 4 sore sampailah kita di Kali Mati. Disebut Kali Mati bisa jadi
karena ia adalah area aliran air hujan yang mengalir dari puncak Mahameru. Satu
lagi yang perlu disebut adalah Sumber Mani. 500 meter turun kea rah barat daya
Kali Mati kita akan menjumpainya. Disini kita dapat mengisi air secukupnya
untuk camp di Arcopodo. Subhanallah, entah dari mana air itu bersumber. Baiknya
kita lebih dari tiga orang untuk turun mengambil air di sini karena tidak
jarang macan pohon gunung Semeru dan hewan liar yang lain juga memanfaatkan
sumber air ini menjelang malam.
Sore menjelang
malam itu terasa mencekam, karena akupun ikut turun mengambil air di Sumber
Mani. Alhamdulillah kami bertujuh tidak menjumpai hal yang tidak diharapkan.
Jelang malam suhu di sini bertambah dingin. Tekanan udara bertambah tinggi.
Setiap semilir angin yang bertiup adalah batang-batang ranting yang seakan
menggores wajah-wajahkami. Cukup perih jika wajah kita tidak tertutup oleh
slayer ataupun kain yang lainnya. Termasuk menggunakan kacamata sangatlah
dianjurkan. Antisipasi pasir Semeru yang kapan saja dapat masuk ke mata kita.
Betapa sekali
lagi kita harus memperhatikan nutrisi yang terkandung dalam makanan yang kita
makan. Saat itu kita harus melawan ego kita yang enggan makan padahal tubuh
kita sangat membutuhkannya. Saat itu pula aku yang awam tentang nutrisi itu
cukup membawa pilus sebagai lauk.”Astaghfirullahal’azhiim,ampuni aku yang telah
zhalim terhadap tubuhku ya Allah”
Setelah salat
Maghrib dan makan malam dengan pilus kitapun repacking dan berdoa. Semoga diberi
kelancaran, keselamatan dan kekuatan agar dapat sampai di puncak Mahameru.
Amin. Kitapun mulai bergerak meninggalkan Kali Mati menuju Tenggara dan kemudia
berbelok ke Selatan menuju punggungan Semeru. Di sini semuanya bermula. Bukan
lagi jalur datar atau menurun. Semuanya full menanjak dan debu dari pasir
Semeru. Jalur kecil di punggungan menuju Arcopodo. Semuanya mulai terlihat,
semakin menanjak tinggi dan makin tinggi. Angin yang bertiup menghantam
tubuh-tubuh kamipun semakin keras. Subhanallah. Bulan masih menemani kami
sejauh ini. Dikejauhan terlihat lampu-lampu rumah berkelap-kelip. Pananjakan, Gunung
Bromo, Batok, bahkan Welirang.
Pukul 11.00,
tibalah kami di Arcopodo. Satu hal yang ingin kukomentari tentang film 5cm,
saat scene di Arcopodo sangat tidak
sesuai dengan yang pernah aku rasakan. Kenapa di scene Arcopodo digambarkan sebagai tempat yang
damai sekali tanpa hembusan angin sedikitpun. Padahal karena ketinggiannya
Arcopodo adalah tempat yang sangat luarbiasa dengan hantaman-hantaman angin
yang keras pula. Tapi mari kita positif thingking bisa jadi pada waktu shooting
memang mereka meminta bantuan Avatar The Air Bender untuk
mengendalikannya,hehehe.
Di sini kita kembali mendirikan tenda makan dan istirahat. Paling lambat jam 01.00 kita harus kembali bangun dan melanjutkan pendakian menuju Mahameru. Sebisa mungkin kupejamkan mata ini berharap tambahan energy dari istirahat singkatku. Hanya jaket dan kain sarung ini perisaiku menghadang angin Arcopodo. Alhamdulillah jaket pinjaman Opik sobatku ini cukup handal menghadang angin yang terus menerus menghantam.”Bismikallahumma Ahya Wabismika Amuut, MUdahkan Ya Allah, Mudahkan, sejauh ini hamba melangkah, adalah kerugian besar jika tidak sampai ke Mahameru Ciptaan-MU, MUdahkan Ya Allah Mudahkan, kuyakin ini akan menjadi cerita syukurku pada-MU,Amin!”
Di sini kita kembali mendirikan tenda makan dan istirahat. Paling lambat jam 01.00 kita harus kembali bangun dan melanjutkan pendakian menuju Mahameru. Sebisa mungkin kupejamkan mata ini berharap tambahan energy dari istirahat singkatku. Hanya jaket dan kain sarung ini perisaiku menghadang angin Arcopodo. Alhamdulillah jaket pinjaman Opik sobatku ini cukup handal menghadang angin yang terus menerus menghantam.”Bismikallahumma Ahya Wabismika Amuut, MUdahkan Ya Allah, Mudahkan, sejauh ini hamba melangkah, adalah kerugian besar jika tidak sampai ke Mahameru Ciptaan-MU, MUdahkan Ya Allah Mudahkan, kuyakin ini akan menjadi cerita syukurku pada-MU,Amin!”
Pukul 01.00 kami
pun bedoa dan siap melanjutkan perjuangan. “MUdahkan Ya Allah”. Di atas
Arcopodo ini, di sepanjang jalur pendakian menuju gunungan pasir Semeru
tertanam lebih dari belasan Arca atau batu Nisan sebagai rasa cinta kuatnya
persaudaraan antar pendaki yang ditinggal pergi temannya yang sama-sama pendaki
untuk selamanya. Subhanallah suasana di sini semakin kental dengan nuansa
mistis. Kental, kental sekali. Di sini juga terdapat ritual para pendaki yang
memberi perlengkapan pendakian seperti sandal dll yang dilemparkan ke suatu
jurang di daerah Kelik namanya. Nama itu diambil dari nama pendaki yang pernah
mati di sana.
Dibanding
punggungan di gunung-gunung lainnya menuju puncak, punggungan ini sangatlah
sempit dan rapuh karena dominasi akar pohon dan pasir. Terlebih banyaknya nisan
membuat pendaki sulit melangkah. Sekali lagi tentang film 5cm, sangat
disayangkan sekali tidak mengambil latar tersebut.
Di batas
vegetasi ini sebagian orang yang mempunyai keahlian batin, dapat melihat pintu
yang sangat besar menuju puncak Mahameru Puncak Para Dewa. Dari sini mulailah kita bergelut bercumbu
dengan pasir Semeru. Mencapai puncak Mahameru dari sini membutuhkan waktu lebih
dari 4jam. Betapa tidak tiap jengkal pasir yang kita injak akan membawa kembali
kita turun lebih jauh dari capaian jengkal kita. Tiga kali menapak, dua kali
kita akan turun, bahkan lebih. Di sinilah kekuatan dan kesabaran kita
benar-benar diuji. Pastikan buang jauh-jauh kesombongan-kesombngan kita,
serahkan semua kepada Allah swt Yang Maha Besar dan Perkasa.
Pasir-pasir dan
batu-batu yang berjatuhan dari ataspun harus juga menjadi perhatian kita.
Pasir-pasir dapat membutakan mata-mata kita, dan batu-batu gunung yang menimpa
dapat memecahkan kepala-kepala atau setidaknya melukai bagian tubuh kita.
Koordinasi antar pendaki sangat diperlukan. Peraturannya adalah jika ada yang
pendaki yang menginjak batu dan batu itu meluncur kebawah, ia harus segera
berteriak “Awas batu!”, sehingga mengurangi resiko temannya yang berada di
bawahnya tertimpa batu tersebut. Di sini kita harus juga pintar memilih
pijakan, batu vulkanik yang menyerupai batu gamping yang terlihat kokoh dan
kuat berwarna putih tidak jarang sangat rapuh dan membuat kita lepas dari
pijakan kita.
Adzan subuh
tidak dapat terdengar dari sini. Tetapi jam telah menunjukkan pukul 05.00, lebih
dari 4jam kita telah berjuang. Hampir habis energiku, belum juga juga lampaui
setengah dari gunungan pasir ini. Masyaallah, akhirnya aku pun tayammum, salat
subuh dan kembali meminta kekuatan kepada-Nya. “Kuatkan Ya Allah, Kuatkan!,”
tak terasa akupun tertidur di tengah hantaman angin kencang dan dinginnya
Semeru.
Cantiknya bulan
purnama yang dihiasi wedus Gembel Semeru tak terlihat lagi oleh mataku. Some
One Hug Me. Akhirnya aku bangkit kembali. Ya sepertinya aku harus mengucap
banyak terimakasih atas motivasi dan kehangatannya aku dapat kembali bangkit.
Jurus terakhir adalah meneguk Krating Daeng. Dan kantukpun sedikit-demi sedikit
hilang. Aku kembali berjuang sampai puncak Mahameru. Alhamdulillah,jam 07.00,
aku dapat menginjakkan kaki di atap pulau Jawa 3676mdpl. Suatu kebahagiaan
dapat menyaksikan langsung peristiwa alam yang laur biasa. Dari sini kita dapat
dengan jelas menyaksikan Wedus Gembel yang dihembuskan oleh kawah Semeru yang
melambung lebih dari 100 meter tingginya. Dan peristiwa itu selalu terulang
setiap 15 menit sekali.
Tidak lebih dari
setengah jam setelah selebrasi sujud syukur dan foto-foto kamipun turun.
Keberadaan kami di atas sii tidak boleh lebih di atas jam 9, karena angin akan
berubah arah ke Utara dan membawa Wedus Gembel Semeru menuju jalur naik dan
turunnya pendaki termasuk Arcopodo dan KaliMati. Tidak sedikit pendaki yang
mati karena terkena Wedus Gembel Semeru seperti halnya Soe Hok Gie.
Berkejaran dengan waktu kitapun segera menuju Arcopodo dan seterusnya ke Ranu Kumbolo. Lagi-lagi suatu keajaiban yang terjadi di sini. Di Arcopodo. Beberapa teman yang sudah tidak sanggup meneruskan perjalanan turun tertahan di Arcopodo. Tenda belum sempat di lipat dan mereka tertidur disana, termasuk aku. Teman-teman yang lain sudah berada di KaliMati menuju Ranu Kumbolo. Di atas jam yang telah ditentukan sebagai jam berbahaya kami masih berada di Arcopodo dalam keadaan sehat. Alhamdulillah. Sangat berat untukku berkejaran dengan waktu menuruni puncak Mahameru lalu Arcopodo dengan kondisi kaki yang lecet. Celakanya lagi aku tidak membawa sandal. Jadilah tanpa alas kaki menginjak kerikil-kerikil tajam Semeru dengan beban di pundak. Masyaallah.
Panitia
memutuskan menginap semalam lagi di Ranu Kumbolo. Artinya tiga malam sudah kita
menginap di Ranu Kumbolo. Di sini kupuaskan hobiku memancing. Alhamdulillah 5
ekor anak ikan emas kecil terkena kailku,hehehe. Salah seorang teman yang
beruntung berhasil mendapat induknya. Jadilah malam itu makan dengan menu ikan
bakar. Subhanallah, Alhamdulillah.
Selamat tinggal
Ranu Kumbolo selamat tinggal Semeru. Kitapun kembali menyusuri bukit-bukit
menuju Ranu Pani. Kembali Offroad sampai pasar Tumpang kemudian menuju UMM.
Menginap dan silaturrahmi dengan Mapala di sana. Keesokan harinya barulah kita
kembali ke Jakarta.
Dengan
kesan-kesan yang sangat luarbiasa di Semeru, syukurku penulisan skripsi rampung
tak lama setelah pendakian Agustus 2004. Maret 2005 akupun resmi menyandang
S.Th.I. Terimakasih buat semuanya, terimakasih buat Arkadia, tanpa kawan-kawan mungkin
aku belum bisa sampai kea tap pulau Jawa Mahameu 3676mdpl. Alhamdulillahirabbil
‘Alamin.
(luthfi mulyadi,
02 April 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar