Eman dan
Ujian Tengah Semester
“Eman,coba kerjakan sendiri!”
tegur guru
seorang guru yang menjadi pengawas
di kelasnya. Selang lima detik kemudian.
Eman kembali meminta bantuan kepada teman yang duduk di belakangnya.
”Eman!’
kali ini dengan
kalimat yang lebih pendek, hanya
menyebut nama.
“Apaan sih pak!”,
Jawabnya tegas.
“Waduh galakan dia?”,
Tanpa perasaan
bersalah ia malah membantah. Syukur pak pengawas sadar benar kondisi di sekolah
tempat Eman dkk melaksanakan KBM dan Ujian Tengah semester adalah sekolah
dengan sistem yang tidak jelas. Sehingga ia terus berpikir bagaimana cara yang
bijak menghentikan kegiatan mencontek yang tiap ujian terjadi dan dianggap
sebagai tradisi. Dengan tenang sambil menahan emosi pak pengawas pun menanggapi.
“Coba kerjakan sendiri”,
saking
bingungnya kembalilah ia ke format pertama
“Kaya gak pernah nyontek aja!”,
komentar Eman
lagi.
“Masyaallah”,
dan pak
pengawaspun menyerah. Percuma menjelaskan kepadanya bahwa tidak semua guru
pernah mencontek. Kalaupun pernah, sekarang gilirannya menegakkan kedisiplinan.
Perampokpun tidak menginginkan anaknya juga merampok. Kalaupun ia ditegur saat mencontek, pasti ia
akan menerima kesalahannya dengan lapang dada.
Mari bayangkan suatu pertandingan tanpa wasit
pengadil di lapangan. Para pemain akan bermain seenaknya tanpa menghormati
peraturan dan hak lawan sebagai manusia. Sehingga sangat pentinglah peran wasit
di sana. Begitu juga ujian. Saat itu hak seorang untuk mendapat nilai tinggi
idealnya dijaga dari gangguan temannya yang memaksa meminta jawaban. Jika ada
yang melanggar maka akan dikenakan sanksi sama halnya dengan pemain sepak bola
yang berlaku kasar mentekel lawannya.
Dalam kesempatan
lain, dari luar jendela Cici sedang memberi bantuan jawaban kepada temannya.
Tidak hanya Cici, diluar ruangan-ruangan lain teman-teman yang sudah selesai
juga memberikan jawaban mereka dengan bebasnya. Banyak pengawas yang sudah tak
berdaya memperingati mereka.
Makin cepat, makin baik?
Sambil
menikmati istirahat jeda mata pelajaran yang diujikan, para guru dan panitia
membicarakan siswa-siswi yang semakin cepat selesai mengerjakan soal
ujian. Alih-alih menggambarkan
kompetensi mereka yang semakin baik, kecepatan mereka dalam menyelesaikan soal
ujian ternyata menunjukkan :
1. Ketidakpedulian terhadap hasil belajar
2. Mudahnya mendapat contekan dari banyak teman
3. Ketidakpedulian guru dan pengawas terhadap pelanggaran yang
terjadi saat ujian
4. Pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi saat ujian
5. KBM yang tidak efektif dan effisien
6. Tradisi mencontek yang hampir mengakar
Data-data
tersebut berdampak pada pemikiran “kalo bisa nyontek, ngapain belajar-untuk apa
belajar kalo gampang untuk dapat contekan. Jika demikian, tagihannya adalah
nilai yang bagus bukan akhlak yag bagus.
Menyedihkan
memang membicarakan tentang tujuan pembelajaran di sekolah ini. Tujuan yang
sangat dangkal, sebatas membuat siswa mampu menjawab soal ujian. Hal ini
tergambar dari kinerja banyak guru yang tidak mengejar tujuan luhur lainnya selain
tujuan dangkal dapat menjawab soal ujian. Ironi, saat SMP tetangga sedang bekerja keras
membangun karakter dengan apel tiap Jum’at pagi, kita yang seharusnya lebih
paham ilmu agama membiarkan siswa/i mencontek. Semoga kita segera bertobat.
(Luthfi mulyadi, 09 April 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar