No
Virgin No Future
Keperawanan adalah masa depan.
Itulah persepsi umum kaum remaja. Menurut Hepi Wahyuningsih, S.Psi M.Si dosen
Psikologi UII. Hal itu dibuktikan survey sebuah perusahaan pembalut wanita
terhadap remaja putri di Ibu Kota.
“Sebagian besar menganggap kehilangan keperawanan sebagai kehilangan masa
depan, “ katanya pekan lalu.
Lantas seberapa cemas gadis yang
kehilangan keperawanan?,Tri (20 tahun) meratapi cukup lama. “Aku menangis
terus-menerus selama bertahun-tahun.” kata mahasiswi perguruan tinggi di Jawa
Barat ini.
Tri juga kehilangan virginitasnya
saat kelas dua SMA. Bukan salah dia sepenuhnya, memang. Suatu hari pacarnya
memberinya minuman yang membuatnya tak
sadarkan diri. Saat siuman, dia mendapati dirinya acak-acakan.
Bak jatuh tertimpa tangga pula, Tri
ditinggal sang pacar. Dia sempat ingin mengakhiri hidupnya. “Daripada harus menanggung aib seumur hidup,” katanya.
Tri urung gelap mata. Dia kembali bertemu pacar baru. tapi kebobolan pertama
membuat Tri lepas kendali. Tri bukan hanya menyerahkan dirinya kepada pacarnya,
tetapi kepada lelaki lain. Kalau sudah punya rasa cinta, pasti laki-laki minta
yang aneh-aneh. jadi mendingan nggak usah cinta sekalian kata Tri setengah
putus asa.
Langkah lebih ekstrem diambil oleh
sebut saja Olive. Diapun kehilangan keperawanan oleh bujukan pacar dan
ditinggal pergi. Siswi kelas tiga salah satu SMA swasta di Bandung ini pun dilanda disorientasi hebat.
Dimulai gonta-ganti pacar, Olive berakhir di jalanan.
Nasib mengenaskan juga menimpa sebut
saja Titik (19). Saat masih duduk di bangku kelas tiga salah satu SMA swasta di
Cirebon, Titik
kehilangan keperawanan. “Dia mengancam akan meninggalkan saya bila tidak
menuruti keinginannya.”
Titik pun hamil. Orang tuanya marah
besar. Apalagi, pacarnya berusaha lari dari tanggung jawab. “Dia malah
mempertanyakan anak yang saya kandung anaknya atau bukan”,katanya.
Untuk menutupi aib, keduanya dipaksa menikah. Tapi
suaminya yang dulu penyayang, berubah ringan tangan. Hamil delapan dulan pun
Titik masih digampar. Dia pun pulang ke rumah orang tuanya. Sakit hati, dia
menolak ditengok suami saat melahirkan. “Saya menyesal”.
Terbawa sampai
menikah
Sebut saja namanya Helena. Perempuan 38 tahun ini telah 10 tahun
berumah tangga – sebut saja Anton. tapi, kepada Republika yang menjumpainya di Makassar, pekan lalu, dia berkata, Andaikan belum ada
anak-anak saya ingin pisah saja.
Helena mengakui Anton bukanlah yang pertama.
Lelaki lain pernah singgah memetik keperawanannya, lalu pergi. Sebelum menikah,
Anton mengetahui kondisinya. “Dia bilang, kalau jodoh dalam kondisi
bagaimanapun akan diterima”.
Namun, setiap ada persoalan,
Anton selalu mengungkit masa lalunya
disertai kata-kata kasar. Bahkan, Anton menuduhnya selingkuh dengan teman
kerjanya.
Track Record masa lalu rupanya tak
membuat Anton mempercayai Helena.
Untuk menepis kecurigaan, wanita berdarah Manado
ini berhenti bekerja.
Sakit hati, marah dan kecewa. Itulah
Helena kini. Memetik hikmah peristiwa yang dialaminya, Helena bertekad menjaga anaknya baik-baik.
Apalagi dua dari tiga anaknya adalah perempuan. “Saya tidak ingin mereka mengalami nasib yang saya
alami. Sangat menyakitkan”.
Menurut Hepi, keperawanan penting
dalam pernikahan. Karena itu, harus dibuka sebelum menjalani kehidupan rumah
tangga. Bila sejak awal calon istri jujur dan calon suami bisa menerima,
masalah berkurang. Namun masalah belum
tentu selesai. Ketidakperawanan tetap bisa menjadi masalah.
Terhadap calon
istri yang jujur, mengatakan potensi masalahnya lebih besar lagi. “Terlebih bila
sang suami mengagungkan keperawanan”, katanya.
Laki-laki di Indonesia, kata Hepi
masih banyak menginginkan calon istri perawan. Para
orang tua pun dinilai Hepi secara umum kurang bisa menerima menantu yang tak
perawan.
Penelitian
lintas budaya, tutur Hepi memperlihatkan laki-laki umumnya memiliki calon istri
Karena alasan attractiveness. Keperawanan termasuk di dalamnya, karena
menunjukkan kesucian.
Keperawanan adalah jaminan mutu di
mata Iskandar (30), karyawan perusahaan swasta di Cirebon. Menurut dia, perempuan yang menjaga
keperawanannya hingga menikah, adalah perempuan baik-baik. Iskandar pun
bersyukur mendapatkan istri perawan. “Gue respect sama dia dan percaya banget
bahwa anak yang dikandungnya adalah anak gue”, katanya.
Tapi, bukan hanya lelaki yang menginginkan perawan. Kaum
perempuan pun menginginkan perjaka. Masalahnya, dalam budaya di Indonesia,
seolah hanya suami yang boleh menilai istri. Ini masalah gender yang perlu
diubah. Karena dalam Islam pun wanita memiliki hak sama dalam memilih pasangan
hidup”, kata Hepi.
(Republika,
Ahad 02 September 2007 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar