Senin, 10 Juni 2013

sanksi vs pelanggaran


"Terlambat ya?"
"Iya"
jawabku agak berat. Kali ini bukan karena berapa rupiah yang harus kubayarkan, tetapi tidak dapat meminjam kembali buku yang kuinginkan membuatku kecewa. Terlebih sudah kuluangkan waktu di pagi hari meninggalkan tugasku sebagai panitia PDB Apapun sanksinya aku harus dapat menerima dengan lapang dada. Masyaallah!
"Sanksinya bapak belum bisa meminjam buku lagi sebelum tanggal 13Juni ya pak!"
"Fyuh, ....Ok deh",
jawabku kecewa. Betapa tidak, sebelumnya sanksi terlambat mengembalikan buku hanya harus membayar Rp.500, perhari sesuai keterlambatan. Semoga kebijakan baru ini dapat memberi manfaat bagi banyak pihak. Amin.

 Sanksi VS Pelanggaran

"Siswi SMP jadi mucikari di Surabaya"
"Siswi rekam & Unggah video mesumnya di Youtube"

     Masyaallah, 2berita yang semakin membuat kita resah tertulis di yahoo & Facebook. Baru saja aku dapat sanksi dari perpumda tidak dapat meminjam buku 2hari kedepan. Hal itu cukup membuatku jera. Pikirku "sudahkah anak-anak/remaja belasan tahun yang melanggar hukum atau norma telah mendapat sanksi yang dapat membuat mereka jera sehingga tidak mengulanginya lagi?","siapa kemudian yang berhak memberi mereka sanksi?", pikirku betapa pentingnya fungsi sanksi dan revitalisainya jika dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin berat semakin harinya. Dalam kata lain sanksi justru adalah kebutuhan manusia sebagai makhluk tuhan yang mempunyai peradaban. Manusia dengan begitu banyak kepentingan-kepentingan yang sering sekali berseberangan harus tunduk pada peraturan dan sanksi.Terlebih di zaman yang kian meresahkan dengan pengaruh permisifnya. Bagaimanapun harus ada peraturan, sanksi dan penegak hukum yang kuat. 

Saat Senioritas Menjadi Penting

    Satu dasawarsa terakhir semakin sedikit didengar kata senioritas. Padahal jika dipikir kembali senioritas menjadi cukup penting dalam perilaku seseorang dalam tatanan kehidupan sosial. Lebih dari 10tahun yang lalu seorang dewasa bisa jadi  tidak akan mengizinkan seorang remaja menonton film dewasa  karena dirasa belum berhak. Orang dewasa pada saat itu merasa punya privasi untuk berkumpul bersama orang dewasa lainnya sehingga keberadaan seorang anak remaja di dekatnya membuatnya risih, begitu juga dirasakan para remaja pada  anak-anak  di bawah umur mereka. Di sisi lain seorang remaja dengan sendirinya merasa canggung untuk berkumpul dengan orang-orang dewasa karena juga merasa menghormati hak orang-orang dewasa. Bolehlah kita sebut sekat-sekat tesebut adalah produk orang-orangtua kita lebih dari 30tahun yang lalu. sehingga jelas ada dunia anak, remaja, dan dewasa pada saat itu. Tidak demikian sekarang keadaannya. Sekat-sekat budaya tersebut berhasil dihancurkan oleh budaya permisif.  Bahkan dalam satu surat kabar pernah ditulis "nonton bareng video porno kakek dan cucu", wuedan memang. Hanya ada satu kata mari imbangi  dengan peraturan dan sanksi yang lebih manusiawi pastinya. Tujuannya adalah memanusiakan manusia yang lupa dirinya adalah manusia

Sanksi Edukatif
 Tidak harus dengan kekerasan. Alhamdulillah, pernah juga aku memberi sanksi tulis sebanyak 1000kali menulis kalimat
"saya anak baik dan terus berusaha berpikir positif"
pada siswa yang ketahuan pacaran berlebihan. Hasilnya merekapun jera. Pastinya juga dilengkapi dengan bimbingan dan arahan-arahan melalui diskusi yang cukup intens. Banyak sekali sanksi-sanksi edukatif yang dapat dikembangkan dan diterapkan oleh kita sebagai orangtua. Seperti, sita hp saat malam hari, sehingga memastikan anak tidak bergadang, terlebih saat menjelang ujian. Karena ini tentang pembentukan karakter, dan karakter manusia adalah suatu yang cukup sulit dibentuk jika tidak dipaksakan.. Bukan hanya tentang  tega, kejam  dan tidak, tetapi sanksi memang untuk memberi efek jera,  sehingga wajar jika dirasa memberatkan awalnya,sehingga anak-anak kita dapat menjadi  pribadi yang taat hukum Semoga usaha kita diridhoi  Allah swt.Amin. (luthfimulyadi,11Juni2013)  





Tidak ada komentar: