Senin, 09 November 2015

"Wah die+Jijik!"

"Wah die!"

teriaknya spontan melihat pengawas ruangan berjalan menuju kelasnya.

"Wah die juga"

Spontan pengawas menimpali setengah berteriak pura-pura heran melihat siswanya yang berteriak tadi dari luar kelas.

Di pikiran pengawas berkecamuk bahwa ia tidak akan diterima dengan baik di kelas tersebut. Ungkapan tadi diinterpretasikan sebagai ungkapan surprise kekecewaan.

Pengawaspun masuk sambil menahan emosi. Benar saja ada dua siswa yang suka membuat gaduh di kelas tersebut.
Herannya yang tadi berucap justru adalah mantan anak asuhnya dulu ketika ia menjadi wali kelas.

Pengawas segera bertanya, kenapa begitu surprisenya ia bertemu.
Masih terlihat emosi. Sejurus kemudian pengawas berbalik badan. Terdengar lagi celoteh.

"Jijik!"

Pengawas berdoa, mudah-mudahan ia salah mendengar. Kalaupun benar, wajar agaknya pengawas paham, bahwa yang berceloteh tadi adalah anak-anak korban salah gaul.

Langkah cerdasnya adalah mengalihkan dengan meminta anak tadi membagikan lembar jawaban beserta soal hingga ia tak perlu lagi berkeliling.

Alhamdulillah emosi itupun terkendali. 

Kembali ia berpikir apa untungnya menanggapi anak-anak tersebut. Kalau ia banyak waktu, tentu ia akan memanggil dan menanyakan apa maksud kata "JIJIK" yang didengarnya.

Kalaupun tidak, ia akan berpikir mungkin memang cukup pantas ia dibilang "jijik" dengan segala dosa yang pastinya Allah saja yang tahu.

Jika anak-anak itu tahu dosa menjijikkan yang ia pernah dan terus ia lakukan mungkin ia bisa menerima. Hina dina suatu yang rendah. Begitulah manusia berasal.

Semakin ia tundukkan emosi dan akui semua dosa lalu memperbaikinya, semakin tinggi ia di hadapan-Nya. Ini yang terpenting.

Semoga semua kesalahan dan dosa kita diampuni-Nya. Semoga kita mendapat Ridho-Nya.Amin

Tidak ada komentar: