Sabtu, 24 November 2012

Sexy that i mean


‘Iffah

            Bukan hal yang tabu bagiku berbicara tentang cinta. Aku seorang alumnus dari sebuah  pesantren yang bisa dibilang cukup ketat dengan banyak peraturan, walaupun demikian aku tidak tabu untuk membicarakannya..Ya apalagi kalau bukan hubungan antara santri putra dan santri putri. Bayangkan saja, jika seorang santri putra ketahuan mempunyai relasi dengan santri putri maka keduanya akan dijemur dihadapan ratusan santri lainnya. siapa sih yang tidak  akan  malu?.
            Berbeda sekali dengan pesantrenku kini yang bisa dibilang tidak ketat.. Sempat canggung aku untuk beradaptasi dengan kondisi seperti ini. Tapi lama kelamaan akupun semakin menikmatinya. Bahkan suatu ketika aku sempat mengungkapkan perasaanku kepada seseorang santriwati mojang priayangan. Gembira hatiku walaupun baru setahap kulewati, dengan pengakuan bahwa aku suka padanya.
            “Bagaimana jawabannya Rin?”. Aku Tanya beberapa kali kepada Rini. Ia hanya berdiam diri sambil menundukkan kepalanya, tidak menatapku. Ia memang anak perempuan yang iffah. Jarang sekali ia terlihat bercakap-cakap dengan kaum adam. Itulah sebabnya aku tertarik kepadanya. Selain cantik dan pintar ia pun tidak sembrono seperti anak-anak perempuan seumurnya yang umumnya centil demi mendapatkan perhatian dari kaumku.
            “Maaf, Sep, alangkah baiknya jika kita berteman saja”. Itulah jawabannya. Cukup singkat dan sangat membuatku penasaran.
            Suatu malam dalam lamunanku, teringat kembali aku sewaktu Tsanawiyah dulu. Betapa sulitnmya jika ingin bertemu seorang santriwati, lebih-lebih santriwati yang aku sukai. Selagi disini kenapa tidak, manusiawi kan?, masa seumurku memang  masa yang butuh perhatian dari kaum hawa. Sisi lain hatiku mengatakan “ingat Ta’lim Al-Muta’allim yang telah engkau pelajari, jauhi maksiat, tidak barokah ilmumu”
“Betul kata Ta’lim Al-Muta’allim tapi cinta adalah masalah hati Sep!”. Entah suara dari mana lagi yang  tidak kalah kuatnya mencoba mempengaruhi hati dan pikiranku. Memang benar sih, kata bang Iwan Fals Sang Maestro Indonesia dalam lagunya “Buku Ini Aku Pinjam” , bahwa walau usia kita muda tetapi cinta soal hati. Hafal sekali lagu itu aku nyanyikan. Tidak heran kemudian lagu itu cukup mempengaruhi pikiranku. Ampun, pusing aku harus bersikap seperti apa. Perdebatan ini sering sekali terjadi di dalam hati dan pikiranku tanpa ada yang menengahinya. 
            Enam bulan telah berlalu. Sekarang aku duduk di kelas II Aliyah. Aku masih menyimpan rasa cinta itu kepada Rini. Aku coba kembali menyuratinya. Kata teman-temanku seorang perempuan akan luluh hatinya jika terus menerus diperhatikan.  Aku optimis kali ini gayung pasti bersambut. Apalagi modalku selain optimis dan pantang menyerah seperti yang teman-temanku katakan. Kali ini engkau akan menjadi milikku Rin.
            Seminggu sudah sejak aku luncurkan surat kesekian kalinya memastikan bahwa aku masih menyimpan rasa cinta itu padanya. Dalam surat itu aku katakan, sampai kapanpun aku akan menunggunya. Entah apa yang kurang lengkap dari suratku. Sedemikian indah kuukir kata-kata untuknya  setelah melalui konsultasi teman-teman pujanggaku yang telah berpengalaman menakhlukkan hati banyak perempuan.Tetap saja jawabannya adalah penolakan untukku. “Sep, Rini telah berjanji tidak akan punya pacar di sekolah ini titik!”
            Bagaikan tersetrum listrik ratusan watt badanku terasa sangat lemas dibuatnya. Aku malu sekali kepada teman-temanku yang telah mengetahui rencanaku dari a sampai z. Mereka yang telah tahu betapa aku telah berusaha cukup keras untuk mendapatkan hati Rini mojang priangan Ciamis. Untung aku tidak menuruti saran teman-temanku yang percaya kepada dukun. Menurut mereka,jika cinta ditolak maka dukun harus  bertindak.
            “Sorry friends, kalo urusannya sampe harus ke dukun, gue nggak mau deh, musyrik dan nggak fair.Gue masih bisa lewat cara yang lain”
            “Ya udeh, kita nggak punya cara lain lagi Sep, itu saran terakhir dari kita. Lo mau apa nggak nih ?”
            Lagian cewek aneh kaya gitu lo deketin Sep, kan masih banyak cewek cantik lain yang lebih gampang lo dapetin?.
            “Eh, lo kalo belum tahu dia nggak usah komentar deh, dia tuh beda banget dibanding cewek-cewek lain yang gampang  dideketin dan dimanfaatin sama banyak cowok”, dengan nada emosi akhirnya kutinggalkan teman-temanku. Kalau saja aku menuruti emosiku, pasti aku dan beberapa temanku sudah terlibat perkelahian. Alhamdulillah hal itu tidak terjadi.
            Nyanyian katak iringi aku menuju musholla tepi sawah untuk melaksanakan salat Ashar. Biasanya di musholla kecil ini tidak banyak yang salat karena jaraknya yang jauh dari asrama santri. Aku memilih salat disini karena ingin menikmati kesunyian sore yang indah dan nyanyian katak yang tak pernah letih walau hujan tidak kunjung turun bulan ini. Paling hanya beberapa mahasiswa yang menyempatkan salat di musholla ini karena asrama mereka yang dekat dari sini.
            Sore ini nyanyian katak dan tarian capung sawah tidak seindah biasanya. Padahal di sisi barat sana berdiri tegak Gunung Syawwal seakan memberi contoh seharusnyalah aku juga berdiri tegak sepertinya. Aku lanjutkan langkahku menuju pos penjaga palang pintu kereta api desa Pamalayan. Biasanya kereta-kereta api yang lewat juga sering menghiburku. Kereta api ekonomi yang berwarna oranye atau kereta Argo Wilis yang berwarna putih dengan garis biru abu melintang dari kepala hingga ekornya.
  Aku tidak perduli banyak teman-teman yang mengejekku norak karena sering memperhatikan kereta api yang lewat di hadapanku dengan seksama. Bagiku, kereta api adalah alat transportasi yang sangat gagah perkasa. dan memiliki nilai seni yang tinggi. Ketika ia melintas tidak ada apa dan seorang pun yang dapat menghalanginya. Ketika ia.melintas akan terdengar harmoni nada yang indah karena gesekan roda bajanya yang berton-ton beratnya dengan sambungan satu rel dengan rel yang lain. “Tektektektek,dugdugdugdug” setidaknya seperti itulah bunyi yang sering membuatku terlena karena menikmatinya.
            Di depan pos penjaga palang pintu kereta api ini aku termenung menunggu kereta api yang lewat. Mudah-mudahan dapat sedikit menghiburku dan mengusir kesedihan yang terjadi hari ini. Dengan   sisa tenaga, aku goreskan kembali pulpenku di atas kertas ini. Ingin kutumpahkan tinta dan isi hati terakhirku untukmu Rin.
“Assalamu’alaikum. Rin aku mengerti maksudmu, tetapi bagaimana jika aku terus berkorespondensi denganmu. Ini permintaanku yang terakhirkalinya, please, please ok!.Tak tahukah kamu betapa tersiksanya aku karenamu Rin!”

“Jang, Awas Kareta……..!!”. Dung….Bletak….gabrug, dan semuanyapun menjadi gelap gulita
            “Alhamdulillah,aku masih hidup,dimana aku?”.Belum lagi aku coba untuk luruskan badanku, tanganku yang membengkak memaksaku untuk berteriak kesakitan karena aku coba untuk menggerakkannya. Astahfirullahal’azhim, tanganku yang dibalut mitella membengkak dua kali lipat ukuran aslinya. Aku mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi pada diriku sebelum aku terbaring tak berdaya di ruangan ini. “MasyaAllah, suratku, dimana dia?”, kalau saja ada yang menemukannya pasti aku akan malu sekali. Akan semakin tersebar cerita cintaku yang tak terbalas di antara para santriwati. Ya Allah, mudah-mudahan surat itu terlindas kereta hingga hancur lebur atau tercebur di kolam samping rel kereta. Yang penting jangan sampai ditemukan oleh santriwati.
            Toktoktok…..”Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumussalam”
            “Gimana kabarnya Sep, sudah lebih baik belum?” ,
MasyaAllah siapa gerangan yang mendatangiku. Mimpi apa aku dijenguk oleh tim kesehatan Pesantren yang cantik-cantik. Siapa lagi kalau bukan   Teh Euis dan bidadariku Rini. Rini memang hanya menemani teh  Euis menjenguk dan membawakanku teh manis, tapi kehadirannya bagaikan hujan  di tengah padang pasir yang tandus.   Masyaallah cantiknya bidadariku. Rini hanya bisa menunduk sambil sesekali mecuri pandangku.
            “Al-Hamdulillah baik teh”, jawabku agak terlambat dan terbata-bata karena baru melihat bidadariku kembali. Entah kenapa saat itu seakan rasa sakit tangan dan tubuhku tidak aku rasakan. Seakan aku siap kembali menulis dan terus menulis puisi untuk bidadariku, padahal tangan kananku masih bengkak dua kali lipat besarnya dari ukuran aslinya.
            “Oh, iya kita nggak lama nih Sep, kita masih harus memeriksa kamar-kamar santri lainnya yang belum berangkat mengaji   malam ini”. “Nggak apa-apa teh, terimakasih banyak ya!”, bergegas teh Euis beranjak meninggalkanku disusul Rini dibelakangnya. Sebelum beranjak pergi menyusul teh Euis, Rini sempat melemparkan secarik surat dan senyumnya yang manis untukku. MasyaAllah, alangkah indahnya ciptaan-Mu itu Ya Allah.
Cukup lama aku pandangi pintu kamar setelah Rini keluar, sambil berharap ia akan kembali lagi karena ada sesuatu yang ia tinggalkan. Benarkah surat yang ia lemparkan di alamatkan untukku?, apa isinya ya?, aku pastikan tidak ada santri lain yang masuk kamar ini, sehingga aku dapat dengan leluasa membuka dan membaca surat yang dilemparkannya.
Bergegas aku bergerak dan menahan sakit tanganku karena aku harus sedikit bergerak untuk mengambil surat itu yang jatuh agak jauh dari tempatku terbaring. Duh, jangan sampai teman-temanku atau siapapun terlebih dahulu masuk sebelum aku mendapatkan surat yang mendarat di pojok kamar di sebelah kananku.
Alhamdulillah, akhirnya kudapatkan juga kau. Aku cium berkali-kali surat itu sambil berharap isinya adalah kabar bahagia  untukku dan untuk bidadariku. Pikirku, biarlah tidak mengapa jika Rini harus menerimaku karena iba melihatku terbaring disini.Yang penting pada akhirnya ia akan menjadi milikku. Bismillah aku buka suratnya.
            “Assalamu’alaikum. Terima kasih atas perhatiannya Sep, untuk kemudian menjadi sahabat korespondensi dan bertukar pikiran akupun tidak bisa, aku takut menyakitimu, baiknya itupun dari kaummu, karena yang lebih tahu tentang dirimu pastilah kaummu”. Rupanya Rinilah yang menemukan suratku setelah aku pingsan karena diserempet kereta ArgoWilis.  Apa lagi selain surat penolakan. Tapi senyum manisnya masih dapat menemani tidurku malam ini walaupun aku ditolak untuk kesekian kali.
            Tektektektek, Dugdugdugdug…….!
            Melodi itu membangunkan aku. Ruang kesehatan pesantren memang berada 50 meter dari rel kereta api. Jadi tidak heran, nyanyian itu terdengar kembali di tengah kesunyian malam. Surat itu masih ada disampingku. Kubaca kembali surat itu untuk mencoba mencari alasan lain agar aku dapat menerima keputusan ini.


            Kenapa Rin, kenapa sekejam itu engkau kepadaku?. teman-temanku   sudah beberapa kali meeting dengan kekasih-kekasih mereka. Sedangkan aku, terus kau beri pernyataan-pernyataan yang sulit untuk dimengerti dan diterima. Aku ingin sayangmu Rin!.
            Teringat kembali aku kepada majalah Annida yang pernah kubaca dan Ta’lim Al-Muta’allim yang pernah kupelajari. Kupikir Allah sedang menunjukkan kepadaku suatu yang berharga. Aku sadar aku diperbudak nafsu. Aku sadar Rinilah yang benar dengan sikapnya yang konsisten tetap menolakku, konsisten dengan semangat belajarnya. Hasrat sesaat ini tak lain adalah ajakan setan untuk berbuat lebih dari sewajarnya. Memiliki, merayu, kemudian mencumbu pada akhirnya. Sekali engkau dapatkan itu, akan sangat sulit untuk melepaskannya kembali. Hal itu adalah candu bagimu
            Seharusnya aku cukup puas dengan senyum manismu ketika menjengukku. Itulah hakku yang masih dapat dan pantas kuterima. Seharusnya aku sadar bukan hakku menikmati rayuan, belaian, cumbuan itu.Aku belum berhak untuk semua itu. Jika saja aku telah merasakan semuanya, kenikmatan apalagi yang akan aku rasakan ketika menikah nanti.
Allahumma Ya Ghoniyyu Ya Hamid, Ya Mubdiu Ya Mu’id, Ya Rahim Ya Wadud Aghnina bihalalika ’an Haramika Wa bi Tha’atika ’an Ma’shiyatika Wa bi Fadhlika ’an Man Siwaaka
(Luthfi Mulyadi, Pancoran, 01 Agustus 2008)





Sinopsis
            Asep adalah salah seorang  santri baru sebuah pesantren di Ciamis Jawa Barat. Ia melanjutkan studinya ke Ciamis untuk mencari lebih banyak pengalaman dibanding yang ia dapat dari pesantrennya waktu Tsanawiyah dulu. Pesantren waktu ia Tsanawiyah dikenal dengan pesantren yang ketat dengan banyak peraturan. Berbeda dengan pesantren tempat ia belajar sekarang. Seperti yang telah ia harapkan, Asep memang mendapatkan berbagai pengalaman yang berbeda, termasuk pengalaman cintanya dengan seorang gadis cantik mojang priayangan Ciamis bernama Rini. Pengalaman yang berbeda dengan pengalaman cinta kebanyakan teman-temannya. Pengalaman  yang membuat ia sadar untuk lebih sabar menunggu saatnya tiba  demi mendapatkan keindahan cinta yang sempurna didunia dan di akhirat . Amin

Tidak ada komentar: