Sabtu, 15 Februari 2014

Febra: sebuah cerpen

  Febra

Hati serasa teriris-iris oleh pisau yang tajam. Cakar binatang buas yang ganas menyerang. Tidak sampai pula menangis. Cukup banyak dosa yang tertanam di hati. Meskipun begitu ia masih mampu beristighfar. Nomor buruannya sudah ia genggam. Beberapa kali sudah ia coba mengirim pesan singkat. Jurus andalannya menjadi seseorang secret admirer mulai dikerahkan.

“ra,maafin aku ya”

Indah sekali nama itu. Sehingga tergetar hati saat mendengar atau mengucap namanya. Febra . Subhanallah. Namanya secantik parasnya.

Ni,siapa ya?”

Terbayang kecantikan dan keluguannya yang hingga sekarang tak jua menerima siapapun di hatinya. Sekali lagi Subhanallah. Bahkan seorang seperti aku yang bandelpun tergila-gila padanya.

Jauh sekali berbeda dengan gadis-gadis lain yang begitu mudahnya hinggap di pundakku. Kadang pikirku, bodoh sekali mereka yang tak merasa terancam dengan pribadiku yang urakan seperti ini. Tak sedikit mereka yang kebablasan menjadi penggila  reggae ataupun mengidamkan punkjalanan gara-gara ajakanku. 

Tak sedikit dari mereka yang juga  semakin akrab dengan dunia malam yang kelam padahal tanggung jawab di pundaknya teramat besar sebagai anak seorang pembantu rumah tangga tanpa sosok seorang ayah disisinya. Astaghfirullahal’azhim.
Agak lama aku berpikir, akhirnya aku teruskan jurusku.

“Aku,salah seorang fans beratmu, tapi aku malu sebutkan nama. Aku akan sangat malu jika teman-teman tahu aku sms denganmu”

Dengan menyebut malu, bisa jadi kesan yang timbul adalah pribadi yang baik di benak seseorang.

“Siapa sih?”

Terus mengejarku dengan pertanyaan menandakan ia waspada. Akupun semakin suka menggodanya.

“Aku yang temani kamu di rumah hantu

Baru saja tadi pagi aku temani dia memasuki wahana rumah hantu. Ia tampak sangat ketakutan dan manja dengan  orang yang cukup dipercaya. Ya, itulah aku. Orang terpercaya yang mengancam banyak hati perempuan di dekatnya. Banyak orang yang tak tahu pergaulanku yang  bebas dan mengerikan. Dengan menjadi pendiam, pemalu dan santun bisa jadi mereka akan salah menilaimu. Pagi itu tak cukup kuat imanku menahan hasrat berada di sampingnya. 

Manja yang terlanjur kuartikan suka  membuatku berani melakukan sesuatu yang kurang pantas. Abis cantik banget sih. Salah sendiri kenapa cantik. Makanya sekarang aku minta maaf padanya untuk memastikan iapun suka padaku. Kutunggu jawabannya . Keesokan harinya barulah ia menjawab.

“Oh,kak Dayat,kirain siapa”

Jawabannya masih saja membuatku penasaran.

“maafin aku ya!”

Pintaku lagi. Menegaskan bahwa aku adalah orang yang bertanggungjawab. Agak lama ia menjawab. Akhirnya.

“iya, aku maafin”

Singkat sekali. Kirain dia akan bilang gak apa-apa. Kalo gak apa-apa kan jelas suka tandanya. Terus kukejar dengan pertanyaan.

“Kalo boleh tahu, cewek secantik kamu pasti dah punya cowok kan?”

Mulai ngegombal.  Dan inilah kali terakhir ia menjawab sms dariku. Entah apa yang membuatku begitu penasaran padanya. Di hari Sabtu yang sepi setelah PM, aku mengendap-endap masuk ruang Tata Usaha guna melihat biodata lengkapnya di buku induk. 
 Febra, lahir di Jakarta, 14 Februari 1999. Anak tunggal. Ayah seorang pedagang  makanan anak-anak di depan rumahnya. Tak miliki kendaraan. Cukup jauh ia tinggal dari sekolah. Ibunya telah meninggal dunia saat ia berumur 5tahun. Astaghfirullahal ‘azhiim.

Terakhir aku dengar ia menjadi korban penodongan. HP ratusan ribu rupiah hasil jerih payah ayah kesayangannya lepas dari tangan. Hatiku serasa teriris-iris oleh pisau yang tajam. Cakar binatang buas yang ganas menyerang. 
Serasa tersengat listrik ratusan volt menghanguskan ego laki-laki yang ingin tundukkan banyak wanita cantik. Nyaris  pula aku menangis. Langsung saja teringat ibu yang sekarang masih sehat wal’afiyat dan masih sangat menyayangiku. Terbayang, bagaimana perasaan seorang anak tunggal yang hidup serba terbatas jika disakiti hatinya. Bagaimana perasaan seorang ayah jika tahu anaknya dipermainkan dan disesatkan menjadi anak durhaka.

Astaghfirullahal’azhiim. Sulit sekali aku menangis karena cukup banyak dosa yang tertanam di hati. Ini adalah ketersiksaan yang sangat. Indahnya jika aku mampu menangisi rencana jahatku kembali menyesatkan anak lugu nan cantik yang menjadi tumpuan keluarga. Astaghfirullahal’azhim, betapa jahatnya aku.

“Febra demi cintaku, aku hapus nomormu sehingga tak terbuka lagi kesempatan kau mengenalku. Tapi sebelum aku benar-benar melupakanmu, izinkan aku terakhir kali meminta maaf padamu”

Bisikku dalam hati.
“Febra,maafkan aku”

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan kesadaran penuh aku hapus nomor ini, tanda sayangku padamu.


Alhamdulillahirabbil’alamin. Kemenanganku melawan ego laki- laki.                                                                                                                                                                                                                        (pancoran,15Februari2014)

Tidak ada komentar: