Rabu, 02 Juli 2014

aku aziz


Aku aziz
sebuah cerpen



Aku Aziz. Setahun sudah kujalani hubungan dengan kekasihku Ana. Dalam damai hubungan kami, kejadian itu menimpa. Berita tak sedap tentang salah seorang guru favoritku.

Seorang guru yang cukup rajin masuk ke kelas, aktif di kegiatan Pramuka dan olahraga. Guru yang pernah beberapa kali memberi tausiyah  dalam beberapa kesempatan dengan cukup baik. Seorang motivator, yang sering dekat sekali menggali informasi langsung dariku dan teman-teman.

Seorang yang sangat dekat dengan anak-anak. Seorang yang menggunakan waktunya cukup efektif dan efisien. Jarang sekali beliau terlihat ngobrol dan tertawa terbahak-bahak hingga terdengar sampai kelas bersama teman-teman guru lainnya. Tak heran jika kawan-kawanpun membentuk beberapa geng yang sering mengganggu proses KBM dengan candaannya belajar dari guru-gurunya.


Malam itu aku, aku tak langsung percaya dengan cerita Ana tentang Pak Zendi.
“Zis, tadi siang Pak Zendi….”

“Pak Zendi kenapa na?”

Lama sekali Ana menjawabku lewat sms. Aku tidak terlalu memikirkan kenapa begitu lama ia jawab sms, Alhamdulillah cukup terbiasa aku berpikir positif. Bisa saja karena pulsanya habis.


“mungkin kamu gak kan percaya ziz”

“percaya apa?, kenapa sih?”

Sekali lagi aku harus menunggu jawabannya cukup lama.

“pak Zendi pegang tanganku, dan katakan suka padaku”

“Astaghfirullahal’azhim, kamu gak apa-apa kan?, kok bisa”

   Darahku mendidih mengetahui hal ini. Kutukan-kutukan yang terburuk mulai lahir di otak dan siap kulontarkan menjadi kata-kata. Aku sebagai pacarnya saja belum pernah memegang tangan.

   Alhamdulillah, hubungan kami cukup sehat hingga saat ini. Jarang sekali kami bertemu. Aku menyadari memang belum saatnya meski teman-teman  telah banyak yang melakukan  lebih jauh dari itu.

“trus, kamu bilang apa?”

 Kembali kukejar dengan pertanyaan. Malam itu tidak ada jawaban dari Ana. Entah kenapa. Aku mulai meragukan perasaan Ana padaku. Tak jarang ia mengajakku bertemu, tapi tidak kuturuti. Alhamdulillah imanku masih membuatku malu jika bertemu dan diketahui banyak orang.



Aku ingin menikmati masa remajaku dengan kegiatan yang lebih produktif dibanding hanya memadu kasih tanpa arah yang jelas. Masih jauh jalanku untuk itu. Kupastikan akan tersiksa menahan hasrat jika terlalu sering bertemu.
Aku ingin berenang di lautan ilmu, wawasan yang luas, misteri-misteri sains yang belum terungkap. Aku ingin bergaul dengan banyak teman-teman dan saling bercerita tentang pengalaman berorganisasi. Aku masih ingin berbagi trik bermain games.

Aku masih ingin bersepeda dengan teman-teman ke banyak tempat-tempat yang indah. Aku masih ingin memuaskan hasratku bermain sepakbola. Aku masih ingin merasakan sensasi mendapat ikan besar di danau ataupun di laut.
Aku masih ingin mengejar prestasi-prestasi yang menantangku untuk terus giat berlatih. Aku masih ingin mencapai puncak-puncak gunung nusantara. Semua itu tidak akan aku dapatkan jika kuhabiskan waktu hanya dengan pacar menghabiskan uang saling membelikan makanan, kaos, pulsa atau accessoris lainya.

Aku tak rela uang yang diberikan ayahku harus kubagi lagi dengan seorang pacar. Akan lebih membanggakan jika memberi pacar dengan uang hasil keringatku sendiri.

Sampai suatu hari.  Berita itu menyebar dengan cepatnya. Berita  tentang Ana dan Pak Zendi.  Jujur aku tidak terlalu memikirkannya karena pacar bagiku hanya sebatas teman bicara. Jika harus kupikirkan, pastilah dorongan dari teman-teman yang tidak suka dengan sosok Pak Zendi sejak lama. 

Kupikir kita harus adil, bahwa pak Zendi adalah juga manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Jangan sampai satu kesalahan saja membuat kita lupa dengan banyak kelebihan dan kebaikan yang telah ia perbuat.

Sesalku, kenapa Ana bicara dengan teman yang tidak terpercaya. Akibatnya ini memalukan bagi kita semua. Seharusnya ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada cara lain kecuali menghadapi ocehan teman-teman bahwa Ana akan segera direbut oleh Pak Zendi.
Tak lama sebelum semuanya terlanjur diketahui teman-teman, pak Zendi menemuiku untuk bicara. Entah darimana ia mendapatkan alamat rumahku, menandakan keseriusannya dalam menyelesaikan masalah. Walikelasku saja tak pernah berkunjung ke sini.

Kaget sekali aku sore itu. Kenapa harus pa Zendi menemuiku. Ia mengajakku ke luar untuk bicara. Ia mengajarkan memilih tempat yang nyaman untuk bicara menyelesaikan masalah. Jika tidak bijak, bisa saja ia membicarakannya di depan rumahku.

Ia sangat menghargaiku sebagai seorang laki-laki meski aku masih anak-anak dengan meminta maaf. Ia mengajarkan aku bagaimana menyelesaikan masalah sebagai seorang laki-laki. Bisa saja seorang dewasa mengabaikan privasi anak-anak, tetapi tidak dengan pak Zendi. Sekali lagi ia menghargaiku sebagai laki-laki dewasa.  Ia menceritakan keseriusan hubungannya dengan Ana.

“baik lah pak, terima kasih atas pelajaran-pelajaran yang bapak berikan. Jika memang Ana dapat menerima bapak, pastilah saya akan menerimanya juga bahkan sangat berbahagia".

Sampai akhirnya aku harus mengakui sosoknya lebih pantas bagi Ana dibanding diriku yang belum bisa mengayomi. Aku harus jujur Pak Zendi jauh lebih siap membahagiakannya.


Tujuh tahun berlalu. Hari bahagia itupun tiba. Pak Zendi membuktikan cintanya pada Ana. Janur kuning menegaskan tiada lagi yang dapat merebut Ana dari pak Zendi, sementara diriku masih sibuk bergelut dengan buku-buku kuliah.

Doaku padamu berdua. بارك الله لكما وبارك عليكما وجمع بينكما في خير

Tidak ada komentar: