Rabu, 05 Desember 2012

pendahuluan tasawuf



TASAWUF SEBAGAI JALAN KEROHANIAN ISLAM




Kata Pengantar


Menyimpulkan sekaligus melengkapi topik inti terakhir dari mata kuliah. Aliran kepercayaan , penulis berusaha untuk lebih memahami tujuan dari diajarkannya mata kuliah ini .Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperbaiki kekurangan penulis dalam evaluasi awal, pertengahan dan akhir semester. Mudah-mudahan penulis dapat memahami perkembangan ke depan beberapa panguyuban aliran-aliran kepercayaan dan memberikan manfaat bagi program-program dakwah di kemudian hari,. amien.



Penulis

Luthfi Mulyadi






Pendahuluan


Telah kita ketahui bersama pada pengantar mata kuliah aliran kepercayaan, bahwa salah satu faktor dari beberapa faktor timbulnya  munculnya aliran kepercayaan adalah kurangnya corong Islam pada waktu itu dalam mengekspresikan  (menyoroti ) aspek kerohanian (batiniah) dan ( intuisi ) pemeluknya.
Penyebaran Islam melalui corong fiqih yang hanya banyak berbicara mengenai halal dan haram, putih dan hitam berdampak pada ketidak puasan masyarakat bawah yang sebelumnya sangat kental dengan asketisme dan mistisisme ajaran Hindu maupun Budha.
Padahal Islam pertama kali menyebar dikalangan bawah (kasta Sudra) melalui corong Tasawwuf (mistisisme islam). Dan masyarakat pada waktu itu pula meresponnya dengan baik dan akomodatif. Disinilah kita perlu memenej ( manage) ulang agenda dakwah kita agar dapat lebih efektif dan efisien khususnya dalam mencermati sosio kultural mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menganut berbagai aliran kepercayaan. Bagaimana islam sebagai agama yang kita yakini kesempurnaannya dapat mengayomi dan memuaskan hati para pemeluknya dengan mahabbatullah (kedekatannya dengan Sang Pencipta alam semesta) dan hal-hal lain khususnya yang berkaitan dengan aspek tersebut (batiniah)
Insya Allah penulis akan sedikit mengungkit Tasawuf sebagai jalan kerohanian dalam Islam yang secara valid diakui oleh al-Quran dan al-Sunnah.

TASAWUF SEBAGAI JALAN KEROHANIAN DALAM ISLAM


Segolongan umat islam yang belum puas dengan pendekatan diri kepada Allah melalui ibadah, salat, puasa dan haji diberikan jalan untuk lebih mendekatkan diri mereka kepada Allah Swt. Melalui  al-Tasawwuf atau Sufisme. Istilah ini khusus dipakai untuk menggambarkan mistisisme dalam islam. Tujuan dari mistisisme baik yang di dalam maupun di luar Islam ialah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran ini selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan dalam arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah arab disebut al-Ittihad dan istilah lainnya yaitu Mystical Union.[1]
Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia yang merupakan ajaran dasar dalam Tasawwuf terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis.


          *[2]
Jika hamba-hambaku bertanya bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia memanggil-Ku. Kata (da’a) yang terdapat dalam ayat ini oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai. Kata itu bagi mereka mengandung arti berseru, memanggil  Tuhan, dan Tuhan melihatkan diri-Nya kepada hamba-Nya. Ayat lain juga mengatakan  :

          *[3]
Timur dan barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Tuhan(Allah). Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai.[4]
Pada perkembangannya Tasawwuf yang jauh sebelumnya kental dengan kehidupan kesenyapan (quietism), pada kepasrahan yang utuh terhadap kehendak Ilahi di abad ke-8 M utamanya sangat dipengaruhi oleh rasa takut berbuat dosa yang akhirnya justru kemudian melahirkan motif yang sebaliknya. Misalnya saja sikap yang ditampakkan oleh seorang sufi wanita terkemuka Rabiah yang merupakan contoh menonjoldari sikap pengekangan diri.[5]
Sejauh itu memang tidak tampak adanya perbedaan yang mendasar antara sufi dengan pengikut Muhammad yang bersemangat (salaf), kecuali bahwa para sufi amat berpegang erat (menjadikan sebagian doktrin) terhadap sebagian ayat-ayat al-Quran. Bahkan kemudian terhadap sebagian ayat-ayat al-Quran kemudian mengembangkannya, sehingga sebagian ummat Islam memandang hal tersebut sebagai suatu yang amat penting. Perlu diperjelas bahwa semangat pertapa (asketis) tersebut sangat diwarnai oleh cita Nasrani, dan amat berbeda dengan keaktifan dan semangat pecinta kenyamanan dari Islam. Dalam beberapa ucapan Rasulullah yang terkenal, dijelaskan tentang keutamaan kesederhanaan hidup sebagaimana halnya para pertapa, dan juga ajakan agar bersiaga untuk memerangi serangan orang-orang kafir.[6]
Pada awal abad ketiga Hijriah, atau abad kesembilan masehi, sufisme bukan lagi berhenti pada menjauhi kenikmatan duniawi, dan berbangga terhadap kebersahajaan hidup. Mereka memandang asketisme sebagai tahap permulaan dari perjalanan panjang yang merupakan latihan awal untuk mencapai kehidupan rohaniah yang lebih besar, melebihi batasan asketisme semata.[7]
Terlepas dari kemungkinan adanya pengaruh dari luar Islam, ayat-ayat dan hadis-hadis seperti disebut di atas dapat membawa pada timbulnya aliran sufi dalam Islam tanpa pengaruh dari luar.[8]
Telah sedikit diuraikan di atas perkembangan dari Tasawwuf Islam, diketahui bahwa mistisisme termasuk Tasawwuf Islam (Sufisme) erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan materil. Hal ini dalam istilah Tasawwuf disebut zuhud (ascetism). Mempunyai sifat zuhud merupsksn lsngksh pertama dalam usaha mendekati Tuhan. Orang yang mempunyai ini disebut Zahid (ascetis). Setelah itu barulah orang meningkat menjadi sufi (mystic).[9]
Tujuan seorang sufi ialah berada sedekat mungkin dengan Tuhan  sehingga tercapai persatuan. Jalan untuk mencapai tujuan itu panjang dan berisi stasion-stasion yang disebut dalam bahasa arab (al-Maqamat). Buku-buku Tasawwuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasion-stasion itu. Yang biasa disebut adalah, tobat, zuhud,sabar, tawakkal, dan rida.[10]
Langkah pertama yang harus dilakukan ialah tobat, tobat dari segala dosa besar dan kecil. Selanjutnya menjauhi segala perbuatan yang kurang baik dan tidak sopan; dalam istilah sufi tobat dari segala yang makruh dan syubhat. Tobat itu harus merupakan tobat yang sebenar-benarnya. Sehingga calon sufi itu benar-benar suci dari dosa dan perbuatan-perbuatan tidak baik dan tidak sopan. Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh orang yang suci.[11]
Seorang sufi harus senantiasa dalam keadaan rida, tidak marah dan tidak benci, tetapi senantiasa dalam keadaan suka dan senang. Segala perasaan benci dikeluarkan dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang ketika menerima nikmat : bahkan  dalam hati bergelora perasaan cinta di waktu turunnya malapetaka. Orang sufi tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Bagi para sufi yang bercorak tarekat yang dikembangkan oleh oleh para ulama Sunni dalam tahapan ini mereka memprogramkan latihan-latihan jangka waktu tertentu, biasanya disebut suluk. Didalam suluk ada orang yang memilih jalan Ibadah, jalan Riyadhah, latihan penderitaan, latihan memperbanyak memberi pertolongan, latihan membuang kemewahan dan sebagainya. Dalam memilih jenis suluk ini bagi seorang murid lebih banyak ditentukan oleh guru tarekat itu sendiri, sesuai dengan kondisi murid itu.[12]
Selanjutnya seorang sufi tiba di stasion cinta kepada Tuhan. Hatinya kosong dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi yaitu Tuhan.[13] Dalam Tasawwuf Dzikrullah menempati posisi yang sangat penting. Dzikrullah (ingatan atau pujian kepada Allah) adalah suatu nama dari nabi, dan bahwa menurut al-Quran pujian itu lebih bernilai ketimbang salat. Dalam konteks ditegaskan bahwa penyebutan asma Allah, baik disertai pengalaman lainnya atau tidak, merupakan suatu yang paling positif di dunia karena ia membangkitkan getaran paling kuat ke arah kalbu. Nabi bersabda : “ Segala sesuatu mempunyai pemoles untuk menghilangkan  noda dan kalbu adalah tasbih kepada Allah.[14]
Dapat disebut pula meskipun pujian dengan dengan nama teragung Allah merupakan preseden atas seluruh amalan Tasawwuf. Istilah Dzikrullah juga diperluas ke ritus-ritus lainnya terutama sekali kepada pembacaan atau audisi (gladian) tentang al-Quran seperti  telah kita lihat , merupakan suatu substansi dengan Tuhan. Dalam kaitannya pembangkitan getaran dan tentang bagian pasal dari yang lahiriah kepada yang batiniah. Adalah relevan mengutip apa yang dinyatakan oleh kitab wahyu itu tentang dirinya sendiri yang menunjukkan kekuatan ayat-ayat nya sendiri. Seperti contoh” Merinding kulit-kulit mereka yang takut kepada Allah,  Kemudian menjadi  tenanglah kulit dan hati mereka tatkala mengingat Allah”. Disini para sufi menemukan semua otoritas yang mereka butuhkan untuk memanfaatkan gerakan lahiriah, misalnya : gerakan tubuh dalam dalam tarian sakral, sebagai suatu cara pemusatan batiniah.[15]
Hal lain yang penting diketahui oleh seorang sufi bahwa al-Mahabbah senantiasa didampingi oleh al-Ma’rifah, keduanya selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan hubungan rapat yang ada antara sufi dan Tuhan. Yang pertama menggambarkan rasa cinta, dan yang kedua menggambarkan keadaan mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Al-Ma’rifah tidak sama dengan al-I’lm. Al-Ma’rifah diperoleh dengan hati nurani , sedangkan al-I’lm diperoleh dengan akal. Untuk memperoleh al-Ma’rifah  (sebagai rahmat Tuhan) hati seorang sufi harus dibuka oleh Tuhan dan tabir yang ada antara sufi dan Tuhan harus dihilangkan terlebih dahulu. Dalam al-Ma’rifah sufi telah berhadap-hadapan dengan Tuhan, dengan kata lain sufi telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya yang suci.
Untuk berpindah dari tingkat berhadap-hadapan dengan Tuhan ketingkat  bersatu dengan-Nya diperlukan satu langkah saja. Sebelum dapat mencapai tingkat al-Ittihad sufi harus terlebih dahulu mencapai Fana’. Al-Fana’ senantiasa diikuti oleh al-Baqa’. Al-Fana’ adalah penghancuran diri, sedangkan al-Baqa’ merupakan kelanjutan wujud dalam diri Tuhan. Disitu pulalah tercapainya al-Ittihad.
Dengan tercapainya al-Fana’  dan al-Baqa’ , sampailah kepada al-Ittihad. Dalam tingkatan ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan. Yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Identitas yang mencintai telah hilang , identitas telah menjadi satu. Karena al-Fana’ seorang sufi tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Didalam al-Ittihad yang disadari hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud. Yang disadari hanyalah wujud Tuhan. Ketika sampai di ambang pintu al-Ittihad keluarlah dari mulut sufi ucapan-ucapan yang ganjil yang dalam istilah Tasawwuf disebut “Syatahat” (                    ), Theopathical Stammerings.

Demikianlah ringkasan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui seorang sufi dalam menempuh perjalanan menuju Tuhannya. Namun dalam kasus lain masih perlu bagi kita untuk mengkritisi dan menyoroti aliran-aliran Tasawwuf yang sangat beragam , dikhawatirkan ada aliran yang bersebrangan dengan semangat al-Quran dan al-Sunnah. Sangat perlu kita perhatikan dampaknya bagi masyarakat awam jangan sampai mereka terjebak di dalam ketersesatan dan kemusyrikan sungguhpun dengan niat yang murni menemukan Tuhannya. Oleh karena itu agar  niat yang suci tidak sia-sia bahkan menjerumuskan. Semua orang khususnya yang ingin menjadi seorang sufi  untuk hendaknya mengikuti prosedur yang benar dan valid.

Penutup


Penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pemaparan tadi bahwa:
1.   Islam melegitimasi Tasawwuf sebagai jalan kerohanian Umat Islam melalui  al-Quran dan al-Hadis
2.   Prilaku hidup sederhana, uzlah, qana’ah, sabar , suluk, zuhud, sopan santun, menjaga harga diri yang biasa dilakukan seorang sufi berupa riyadhah telah dicontohkan seorang sufi ideal pertama Rasulullah Saw, sebagai suri teladan kita.
3.   Islam memiliki Trade Mark tersendiri dalam aspek mistisisme yaitu menyeimbangkan antara aspek lahiriah dan batiniah melalui Tasawwuf ( Tasawwuf adalah Trade Mark Islam)
4.   Tasawwuf/aliran kepercayaan apapun yang tidak berdasar pada al-Quran apalagi bersebrangan secara akidah maupun ibadah (dalam tuntunan prakteknya) tidak diterima validitasnya (keabsahannya) bagi muslim sejati.

Demikian tugas makalah ini penulis selesaikan, mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis sendiri dalam melatih penulisan karya ilamiah lainnya.






Referensi


-Lings Martin, “What Is Sufism”, Membedah Tasawwuf, Jakarta, CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1987, Cet. I 1987
-Nasution Harun, “ Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek”, Jakarta, UI. Press, 1986, Cet. VI, 1986
-Nicholson Reynold A, “Tasawwuf Menguak Cinta Ilahiah”, Jakarta, CV. Rajawali, 1987, Cet. I, 1987
-Redaksi Team Sufi, (Majalah) SUFI, Jakarta, 11 Maret 2001, Edisi ke-10





















[1] Harun Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. VI, 1986, h. 71.
[2] Al-Baqarah : 186
[3] Al-Baqarah : 115
[4] Ibid. h. 73.
[5] Reynold A. Nicholson, Tasawwuf Menguak Cinta Ialhiah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), Cet. I 1987, h. 4.
[6] Ibid., h. 5

[7] Ibid., h. 6.
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjaui Dari berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. VI, 1986, h. 74
[9] Ibid., h. 74
[10] Ibid., h. 78
[11] Ibid., h.79
[12] Team Redaksi Majalah Sufi,Edisi 10/Th.11/Maret 2001/5 Dzulhijjah 1421 H.-6 Muharram 1422 H. h. 48
[13] Op.cit., h. 80
[14] Dr. Martin Lings(Abu Bakar Sirajuddin), “ What is Sufism?” Membedah Tasawwuf, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1987), Cet. I, 1987, h. 53
[15] Ibid., h. 54

Tidak ada komentar: