TASAWUF
SEBAGAI JALAN KEROHANIAN ISLAM
Kata Pengantar
Menyimpulkan
sekaligus melengkapi topik inti terakhir dari mata kuliah. Aliran kepercayaan ,
penulis berusaha untuk lebih memahami tujuan dari diajarkannya mata kuliah ini
.Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk memperbaiki kekurangan penulis dalam evaluasi
awal, pertengahan dan akhir semester. Mudah-mudahan penulis dapat memahami
perkembangan ke depan beberapa panguyuban aliran-aliran kepercayaan dan
memberikan manfaat bagi program-program dakwah di kemudian hari,. amien.
Penulis
Luthfi
Mulyadi
Pendahuluan
Telah kita
ketahui bersama pada pengantar mata kuliah aliran kepercayaan, bahwa salah satu
faktor dari beberapa faktor timbulnya
munculnya aliran kepercayaan adalah kurangnya corong Islam pada waktu
itu dalam mengekspresikan (menyoroti )
aspek kerohanian (batiniah) dan ( intuisi ) pemeluknya.
Penyebaran Islam melalui
corong fiqih yang hanya banyak berbicara mengenai halal dan haram, putih dan
hitam berdampak pada ketidak puasan masyarakat bawah yang sebelumnya sangat
kental dengan asketisme dan mistisisme ajaran Hindu maupun Budha.
Padahal Islam
pertama kali menyebar dikalangan bawah (kasta Sudra) melalui corong Tasawwuf
(mistisisme islam). Dan masyarakat pada waktu itu pula meresponnya dengan baik
dan akomodatif. Disinilah kita perlu memenej ( manage) ulang agenda dakwah kita
agar dapat lebih efektif dan efisien khususnya dalam mencermati sosio kultural
mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menganut berbagai aliran kepercayaan.
Bagaimana islam sebagai agama yang kita yakini kesempurnaannya dapat mengayomi
dan memuaskan hati para pemeluknya dengan mahabbatullah (kedekatannya dengan
Sang Pencipta alam semesta) dan hal-hal lain khususnya yang berkaitan dengan
aspek tersebut (batiniah)
Insya Allah penulis akan
sedikit mengungkit Tasawuf sebagai jalan kerohanian dalam Islam yang secara
valid diakui oleh al-Quran dan al-Sunnah.
TASAWUF SEBAGAI JALAN KEROHANIAN DALAM ISLAM
Segolongan umat islam yang belum puas dengan
pendekatan diri kepada Allah melalui ibadah, salat, puasa dan haji diberikan
jalan untuk lebih mendekatkan diri mereka kepada Allah Swt. Melalui al-Tasawwuf atau Sufisme. Istilah ini khusus
dipakai untuk menggambarkan mistisisme dalam islam. Tujuan dari mistisisme baik
yang di dalam maupun di luar Islam ialah memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Kesadaran ini selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tuhan dalam
arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah arab disebut al-Ittihad dan
istilah lainnya yaitu Mystical Union.[1]
Paham bahwa Tuhan dekat
dengan manusia yang merupakan ajaran dasar dalam Tasawwuf terdapat dalam
al-Quran dan al-Hadis.
*[2]
Jika hamba-hambaku bertanya
bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang
yang memanggil jika ia memanggil-Ku. Kata (da’a) yang terdapat dalam ayat ini
oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai. Kata itu bagi
mereka mengandung arti berseru, memanggil
Tuhan, dan Tuhan melihatkan diri-Nya kepada hamba-Nya. Ayat lain juga
mengatakan :
*[3]
Timur dan barat kepunyaan Allah, maka kemana saja
kamu berpaling di situ wajah Tuhan(Allah). Bagi kaum sufi ayat ini mengandung
arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai.[4]
Pada perkembangannya Tasawwuf yang jauh sebelumnya
kental dengan kehidupan kesenyapan (quietism), pada kepasrahan yang utuh
terhadap kehendak Ilahi di abad ke-8 M utamanya sangat dipengaruhi oleh rasa
takut berbuat dosa yang akhirnya justru kemudian melahirkan motif yang
sebaliknya. Misalnya saja sikap yang ditampakkan oleh seorang sufi wanita
terkemuka Rabiah yang merupakan contoh menonjoldari sikap pengekangan diri.[5]
Sejauh itu memang tidak tampak adanya perbedaan
yang mendasar antara sufi dengan pengikut Muhammad yang bersemangat (salaf),
kecuali bahwa para sufi amat berpegang erat (menjadikan sebagian doktrin)
terhadap sebagian ayat-ayat al-Quran. Bahkan kemudian terhadap sebagian
ayat-ayat al-Quran kemudian mengembangkannya, sehingga sebagian ummat Islam
memandang hal tersebut sebagai suatu yang amat penting. Perlu diperjelas bahwa
semangat pertapa (asketis) tersebut sangat diwarnai oleh cita Nasrani, dan amat
berbeda dengan keaktifan dan semangat pecinta kenyamanan dari Islam. Dalam
beberapa ucapan Rasulullah yang terkenal, dijelaskan tentang keutamaan
kesederhanaan hidup sebagaimana halnya para pertapa, dan juga ajakan agar
bersiaga untuk memerangi serangan orang-orang kafir.[6]
Pada awal abad ketiga Hijriah, atau abad
kesembilan masehi, sufisme bukan lagi berhenti pada menjauhi kenikmatan
duniawi, dan berbangga terhadap kebersahajaan hidup. Mereka memandang asketisme
sebagai tahap permulaan dari perjalanan panjang yang merupakan latihan awal
untuk mencapai kehidupan rohaniah yang lebih besar, melebihi batasan asketisme
semata.[7]
Terlepas dari kemungkinan adanya pengaruh dari
luar Islam, ayat-ayat dan hadis-hadis seperti disebut di atas dapat membawa
pada timbulnya aliran sufi dalam Islam tanpa pengaruh dari luar.[8]
Telah sedikit diuraikan di atas
perkembangan dari Tasawwuf Islam, diketahui bahwa mistisisme termasuk Tasawwuf
Islam (Sufisme) erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan
kesenangan materil. Hal ini dalam istilah Tasawwuf disebut zuhud (ascetism).
Mempunyai sifat zuhud merupsksn lsngksh pertama dalam usaha mendekati Tuhan.
Orang yang mempunyai ini disebut Zahid (ascetis). Setelah itu barulah orang
meningkat menjadi sufi (mystic).[9]
Tujuan seorang sufi ialah berada
sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga
tercapai persatuan. Jalan untuk mencapai tujuan itu panjang dan berisi
stasion-stasion yang disebut dalam bahasa arab (al-Maqamat). Buku-buku Tasawwuf
tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasion-stasion
itu. Yang biasa disebut adalah, tobat, zuhud,sabar, tawakkal, dan rida.[10]
Langkah pertama yang harus dilakukan ialah tobat,
tobat dari segala dosa besar dan kecil. Selanjutnya menjauhi segala perbuatan
yang kurang baik dan tidak sopan; dalam istilah sufi tobat dari segala yang
makruh dan syubhat. Tobat itu harus merupakan tobat yang sebenar-benarnya.
Sehingga calon sufi itu benar-benar suci dari dosa dan perbuatan-perbuatan
tidak baik dan tidak sopan. Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali
oleh orang yang suci.[11]
Seorang sufi harus
senantiasa dalam keadaan rida, tidak marah dan tidak benci, tetapi senantiasa
dalam keadaan suka dan senang. Segala perasaan benci dikeluarkan dari hati
sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira. Merasa
senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang ketika menerima nikmat : bahkan dalam hati bergelora perasaan cinta di waktu
turunnya malapetaka. Orang sufi tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga.
Bagi para sufi yang bercorak tarekat yang
dikembangkan oleh oleh para ulama Sunni dalam tahapan ini mereka memprogramkan
latihan-latihan jangka waktu tertentu, biasanya disebut suluk. Didalam suluk
ada orang yang memilih jalan Ibadah, jalan Riyadhah, latihan penderitaan,
latihan memperbanyak memberi pertolongan, latihan membuang kemewahan dan sebagainya.
Dalam memilih jenis suluk ini bagi seorang murid lebih banyak ditentukan oleh
guru tarekat itu sendiri, sesuai dengan kondisi murid itu.[12]
Selanjutnya seorang sufi tiba di stasion cinta
kepada Tuhan. Hatinya kosong dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi
yaitu Tuhan.[13] Dalam Tasawwuf Dzikrullah menempati posisi yang
sangat penting. Dzikrullah (ingatan atau pujian kepada Allah) adalah suatu nama
dari nabi, dan bahwa menurut al-Quran pujian itu lebih bernilai ketimbang
salat. Dalam konteks ditegaskan bahwa penyebutan asma Allah, baik disertai
pengalaman lainnya atau tidak, merupakan suatu yang paling positif di dunia
karena ia membangkitkan getaran paling kuat ke arah kalbu. Nabi bersabda : “
Segala sesuatu mempunyai pemoles untuk menghilangkan noda dan kalbu adalah tasbih kepada Allah.[14]
Dapat disebut pula meskipun pujian dengan dengan
nama teragung Allah merupakan preseden atas seluruh amalan Tasawwuf. Istilah
Dzikrullah juga diperluas ke ritus-ritus lainnya terutama sekali kepada
pembacaan atau audisi (gladian) tentang al-Quran seperti telah kita lihat , merupakan suatu substansi
dengan Tuhan. Dalam kaitannya pembangkitan getaran dan tentang bagian pasal
dari yang lahiriah kepada yang batiniah. Adalah relevan mengutip apa yang
dinyatakan oleh kitab wahyu itu tentang dirinya sendiri yang menunjukkan
kekuatan ayat-ayat nya sendiri. Seperti contoh” Merinding kulit-kulit mereka
yang takut kepada Allah, Kemudian
menjadi tenanglah kulit dan hati mereka
tatkala mengingat Allah”. Disini para sufi menemukan semua otoritas yang mereka
butuhkan untuk memanfaatkan gerakan lahiriah, misalnya : gerakan tubuh dalam
dalam tarian sakral, sebagai suatu cara pemusatan batiniah.[15]
Hal lain yang penting
diketahui oleh seorang sufi bahwa al-Mahabbah senantiasa didampingi oleh
al-Ma’rifah, keduanya selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan hubungan
rapat yang ada antara sufi dan Tuhan. Yang pertama menggambarkan rasa cinta,
dan yang kedua menggambarkan keadaan mengetahui Tuhan dengan hati sanubari.
Al-Ma’rifah tidak sama dengan al-I’lm. Al-Ma’rifah diperoleh dengan hati nurani
, sedangkan al-I’lm diperoleh dengan akal. Untuk memperoleh al-Ma’rifah (sebagai rahmat Tuhan) hati seorang sufi
harus dibuka oleh Tuhan dan tabir yang ada antara sufi dan Tuhan harus
dihilangkan terlebih dahulu. Dalam al-Ma’rifah sufi telah berhadap-hadapan
dengan Tuhan, dengan kata lain sufi telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya
yang suci.
Untuk berpindah dari
tingkat berhadap-hadapan dengan Tuhan ketingkat
bersatu dengan-Nya diperlukan satu langkah saja. Sebelum dapat mencapai
tingkat al-Ittihad sufi harus terlebih dahulu mencapai Fana’. Al-Fana’
senantiasa diikuti oleh al-Baqa’. Al-Fana’ adalah penghancuran diri, sedangkan
al-Baqa’ merupakan kelanjutan wujud dalam diri Tuhan. Disitu pulalah
tercapainya al-Ittihad.
Dengan tercapainya
al-Fana’ dan al-Baqa’ , sampailah kepada
al-Ittihad. Dalam tingkatan ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu
dengan Tuhan. Yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Identitas
yang mencintai telah hilang , identitas telah menjadi satu. Karena al-Fana’
seorang sufi tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Didalam al-Ittihad yang disadari hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua
wujud. Yang disadari hanyalah wujud Tuhan. Ketika sampai di ambang pintu
al-Ittihad keluarlah dari mulut sufi ucapan-ucapan yang ganjil yang dalam
istilah Tasawwuf disebut “Syatahat” ( ), Theopathical
Stammerings.
Demikianlah ringkasan
tingkatan-tingkatan yang harus dilalui seorang sufi dalam menempuh perjalanan
menuju Tuhannya. Namun dalam kasus lain masih perlu bagi kita untuk mengkritisi
dan menyoroti aliran-aliran Tasawwuf yang sangat beragam , dikhawatirkan ada
aliran yang bersebrangan dengan semangat al-Quran dan al-Sunnah. Sangat perlu
kita perhatikan dampaknya bagi masyarakat awam jangan sampai mereka terjebak di
dalam ketersesatan dan kemusyrikan sungguhpun dengan niat yang murni menemukan
Tuhannya. Oleh karena itu agar niat yang
suci tidak sia-sia bahkan menjerumuskan. Semua orang khususnya yang ingin
menjadi seorang sufi untuk hendaknya
mengikuti prosedur yang benar dan valid.
Penutup
Penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pemaparan
tadi bahwa:
1. Islam melegitimasi
Tasawwuf sebagai jalan kerohanian Umat Islam melalui al-Quran dan al-Hadis
2. Prilaku hidup
sederhana, uzlah, qana’ah, sabar , suluk, zuhud, sopan santun, menjaga harga
diri yang biasa dilakukan seorang sufi berupa riyadhah telah dicontohkan
seorang sufi ideal pertama Rasulullah Saw, sebagai suri teladan kita.
3. Islam memiliki Trade
Mark tersendiri dalam aspek mistisisme yaitu menyeimbangkan antara aspek
lahiriah dan batiniah melalui Tasawwuf ( Tasawwuf adalah Trade Mark Islam)
4. Tasawwuf/aliran
kepercayaan apapun yang tidak berdasar pada al-Quran apalagi bersebrangan
secara akidah maupun ibadah (dalam tuntunan prakteknya) tidak diterima
validitasnya (keabsahannya) bagi muslim sejati.
Demikian tugas makalah ini
penulis selesaikan, mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis sendiri dalam melatih
penulisan karya ilamiah lainnya.
Referensi
-Lings Martin, “What Is Sufism”, Membedah
Tasawwuf, Jakarta, CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1987, Cet. I 1987
-Nasution Harun, “ Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspek”, Jakarta, UI. Press, 1986, Cet. VI, 1986
-Nicholson Reynold A, “Tasawwuf Menguak Cinta
Ilahiah”, Jakarta, CV. Rajawali, 1987, Cet. I, 1987
-Redaksi Team Sufi, (Majalah) SUFI, Jakarta, 11
Maret 2001, Edisi ke-10
[1] Harun
Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet.
VI, 1986, h. 71.
[2]
Al-Baqarah : 186
[3]
Al-Baqarah : 115
[4] Ibid. h.
73.
[5] Reynold
A. Nicholson, Tasawwuf Menguak Cinta Ialhiah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987),
Cet. I 1987, h. 4.
[6] Ibid.,
h. 5
[7] Ibid.,
h. 6.
[8] Harun
Nasution, Islam Ditinjaui Dari berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986),
Cet. VI, 1986, h. 74
[9] Ibid.,
h. 74
[10] Ibid.,
h. 78
[11] Ibid.,
h.79
[12] Team
Redaksi Majalah Sufi,Edisi 10/Th.11/Maret 2001/5 Dzulhijjah 1421 H.-6 Muharram
1422 H. h. 48
[13]
Op.cit., h. 80
[14] Dr.
Martin Lings(Abu Bakar Sirajuddin), “ What is Sufism?” Membedah Tasawwuf,
(Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1987), Cet. I, 1987, h. 53
[15] Ibid.,
h. 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar