Rabu, 05 Desember 2012

virgin


No Virgin No Future
            Keperawanan adalah masa depan. Itulah persepsi umum kaum remaja. Menurut Hepi Wahyuningsih, S.Psi M.Si dosen Psikologi UII. Hal itu dibuktikan survey sebuah perusahaan pembalut wanita terhadap remaja putri di Ibu Kota. “Sebagian besar menganggap kehilangan keperawanan sebagai kehilangan masa depan, “ katanya pekan lalu.
            Lantas seberapa cemas gadis yang kehilangan keperawanan?,Tri (20 tahun) meratapi cukup lama. “Aku menangis terus-menerus selama bertahun-tahun.” kata mahasiswi perguruan tinggi di Jawa Barat ini.
            Tri juga kehilangan virginitasnya saat kelas dua SMA. Bukan salah dia sepenuhnya, memang. Suatu hari pacarnya memberinya minuman  yang membuatnya tak sadarkan diri. Saat siuman, dia mendapati dirinya acak-acakan.
            Bak jatuh tertimpa tangga pula, Tri ditinggal sang pacar. Dia sempat ingin mengakhiri hidupnya. “Daripada   harus menanggung aib seumur hidup,” katanya. Tri urung gelap mata. Dia kembali bertemu pacar baru. tapi kebobolan pertama membuat Tri lepas kendali. Tri bukan hanya menyerahkan dirinya kepada pacarnya, tetapi kepada lelaki lain. Kalau sudah punya rasa cinta, pasti laki-laki minta yang aneh-aneh. jadi mendingan nggak usah cinta sekalian kata Tri setengah putus asa.
            Langkah lebih ekstrem diambil oleh sebut saja Olive. Diapun kehilangan keperawanan oleh bujukan pacar dan ditinggal pergi. Siswi kelas tiga salah satu SMA swasta di Bandung ini pun dilanda disorientasi hebat. Dimulai gonta-ganti pacar, Olive berakhir di jalanan.
            Nasib mengenaskan juga menimpa sebut saja Titik (19). Saat masih duduk di bangku kelas tiga salah satu SMA swasta di Cirebon, Titik kehilangan keperawanan. “Dia mengancam akan meninggalkan saya bila tidak menuruti keinginannya.”
            Titik pun hamil. Orang tuanya marah besar. Apalagi, pacarnya berusaha lari dari tanggung jawab. “Dia malah mempertanyakan anak yang saya kandung anaknya atau bukan”,katanya.
Untuk   menutupi aib, keduanya dipaksa menikah. Tapi suaminya yang dulu penyayang, berubah ringan tangan. Hamil delapan dulan pun Titik masih digampar. Dia pun pulang ke rumah orang tuanya. Sakit hati, dia menolak ditengok suami saat melahirkan. “Saya menyesal”.
Terbawa sampai menikah
            Sebut saja namanya Helena. Perempuan 38 tahun ini telah 10 tahun berumah tangga – sebut saja Anton. tapi, kepada Republika yang menjumpainya di Makassar, pekan lalu, dia berkata, Andaikan belum ada anak-anak saya ingin pisah saja.
            Helena mengakui Anton bukanlah yang pertama. Lelaki lain pernah singgah memetik keperawanannya, lalu pergi. Sebelum menikah, Anton mengetahui kondisinya. “Dia bilang, kalau jodoh dalam kondisi bagaimanapun akan diterima”.
            Namun, setiap ada persoalan, Anton  selalu mengungkit masa lalunya disertai kata-kata kasar. Bahkan, Anton menuduhnya selingkuh dengan teman kerjanya.
            Track Record masa lalu rupanya tak membuat Anton mempercayai Helena. Untuk menepis kecurigaan, wanita berdarah Manado ini berhenti bekerja.
            Sakit hati, marah dan kecewa. Itulah Helena kini. Memetik hikmah peristiwa yang dialaminya, Helena bertekad menjaga anaknya baik-baik. Apalagi dua dari tiga anaknya adalah perempuan. “Saya   tidak ingin mereka mengalami nasib yang saya alami. Sangat menyakitkan”.
            Menurut Hepi, keperawanan penting dalam pernikahan. Karena itu, harus dibuka sebelum menjalani kehidupan rumah tangga. Bila sejak awal calon istri jujur dan calon suami bisa menerima, masalah  berkurang. Namun masalah belum tentu selesai. Ketidakperawanan tetap bisa menjadi masalah.
Terhadap calon istri yang jujur, mengatakan potensi masalahnya lebih besar lagi. “Terlebih bila sang suami mengagungkan keperawanan”, katanya.
            Laki-laki di Indonesia, kata Hepi masih banyak menginginkan calon istri perawan. Para orang tua pun dinilai Hepi secara umum kurang bisa menerima menantu yang tak perawan.
Penelitian lintas budaya, tutur Hepi memperlihatkan laki-laki umumnya memiliki calon istri Karena alasan attractiveness. Keperawanan termasuk di dalamnya, karena menunjukkan kesucian.
            Keperawanan adalah jaminan mutu di mata Iskandar (30), karyawan perusahaan swasta di Cirebon. Menurut dia, perempuan yang menjaga keperawanannya hingga menikah, adalah perempuan baik-baik. Iskandar pun bersyukur mendapatkan istri perawan. “Gue respect sama dia dan percaya banget bahwa anak yang dikandungnya adalah anak gue”, katanya.
            Tapi, bukan  hanya lelaki yang menginginkan perawan. Kaum perempuan pun menginginkan perjaka. Masalahnya, dalam budaya di Indonesia, seolah hanya suami yang boleh menilai istri. Ini masalah gender yang perlu diubah. Karena dalam Islam pun wanita memiliki hak sama dalam memilih pasangan hidup”, kata Hepi.
(Republika, Ahad 02 September 2007 )

Tidak ada komentar: